Title: Dinding Pembatas
Cast: Lee Dong Hae, Song Min Seo
Genre: Angst, Hurt/Comfort, AU
Length: Ficlet
Cover by: Nadhea Rain Art
WARNING; Lot of typo, diksi tanpa arah jalan pulang, tidak sesuai harapan dan jauh dari ekspektasi kalian saya tidak tanggungjawab/? *loh
Copyright2016 Nadhea Rain
~~~
Story begin..
Aku menulikan pendengaranku terhadap apapun-apa saja-termasuk suara yang entah sudah naik berapa oktaf di belakangku. Atau ngiang serangga kecil yang mencoba mengusik. Peluh membasahi hampir setiap inchi tubuh tapi aku masih tak berhenti.
Samsak biru gelap itu terhuyung, terombang-ambing menyecap udara kosong. Sekali lagi sarung tinju merahku mengenainya, memperluas area seringaiku begitu saja. Tank top abu-abuku sepenuhnya lepek, pun pula bulir terus mengalir dari pelipisku. Kupukul kembali samsak penuh emosi. Aku benar-benar sentimen dengan benda pelampias emosi itu.
Aku tak begitu memperhatikan jam setelah membebat tangan dengan sarung favoritku, jadi jangan tanya padaku kapan tepatnya aku terdampar di tempat ini. Emosiku memuncak. Aku tidak yakin cukup memiliki pengendalian diri untuk ‘tak memukul Min Hyo Sung sekarang juga. Che. Bahkan hanya melafalkan namanya dalam hati saja membuat emosiku kembali bergejolak. Aku muak. Benar-benar muak dengan gadis itu.
Mungkin menurut sebagian orang masalahku biasa saja. Hanya sebatas cemburu menguras hati karena kekasihku lebih memperhatikan adiknya-nama yang tadi kusebutkan-dibandingkan denganku. Namun sebenarnya bukan seperti itu. Aku tidak merasa cemburu secuilpun. Aku marah. Ya. Ungkapan yang tepat menggambarkan situasiku saat ini.
Aku merasa bodoh. Hubunganku dengan Lee Dong Hae kukira akan baik-baik saja. Kami memang terlihat seperti pasangan normal lain, saling memberi perhatian, berkencan, datang ke pesta bersama, dan yang lainnya. Siapa yang menyangka jika perhatian itu semuanya semu? Kencan itu sesungguhnya jemu? Dan datang bersama hanya sebatas pengalihan agar ia tak diejek kolega bisnisnya yang lain?
Kukira hanya satu. Kukira hanya aku, tapi sungguh rasionalitas menamparku ke arah lain. Bahwasanya perhatian yang ia tujukan tak hanya untukku. Ia bisa saja terburu meneleponku, menanyakan apa aku sudah makan hari ini tapi ternyata tak sedikit gadis yang juga ia kirimi pesan teks demikian.
Pukulanku membabi buta. Ekor mataku sedikit melirik ke arah instruktur yang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Tak mencoba mendekati maupun berusaha meleraiku dengan samsak. Aku ingat terakhir kali ia mencoba menghentikanku satu bulan lalu, aku menendang selangkangannya hingga terkapar beberapa jam di matras. Ia menjulukiku Hulk dan sejujurnya aku benar-benar sentimen dengan julukan mengerikan itu. Memangnya siapa yang mau disamakan dengan Hulk?
Aku menghela napas. Entah aku bodoh atau memang terlalu mudah dibohongi. Bahkan dengan santainya Yoo So Yun-teman dekatku-mengatakan sering dihubungi kekasihku pun aku sama sekali tidak tahu. Aku hanya berusaha tersenyum menguatkan diri. Meski tanganku terkepal di sisi meja tapi aku tak berusaha menyela pembicaraannya. Aku tahu itu sama saja membiarkan pisau-pisau kecil menyayat kulitku, tapi aku ‘tak berhenti jadi pendengar yang baik.
Karena sejatinya aku mendengar untuk mengetahui. Aku mendengar untuk memastikan. Dan aku mendengar agar terlihat begitu konyol di hadapan gadis-gadisnya yang lain. Menyedihkan.
Kukira aku adalah orang nomor empat setelah kedua orangtua juga kakaknya yang benar-benar mengerti dirinya. Aku memperkuat argumenku sendiri karena aku adalah kekasihnya. Sosoknya jelas aku tahu, perangainya dan segalanya aku tahu tanpa ada tadang aling-aling apapun. Namun agaknya pemikiranku terlalu sempit, nyatanya tak kurang dari separuh hidupnya kuketahui.
Aku mengibaratkannya seperti buku Bahasa Jepang. Aku memang bisa membukanya, namun untuk membacanya aku kesulitan. Bahkan cenderung tidak bisa. Jadi kesimpulannya sama saja. Hadir atau tidaknya diriku di kehidupannya tak berarti apapun. Miris.
Aku ingat dua minggu lalu So Yun mengunjungiku di tempat kerja. Aku tidak tahu apa yang ia gunakan membujuk sekretaris pribadiku tapi tiba-tiba saja ia tergopoh. Duduk di sofa tak jauh dari meja kerjaku dengan senyum sumringah. Sebelah alisku terangkat menilai betapa janggalnya gadis cantik di hadapanku namun aku tetap diam. Berkonsentrasi kembali berkencan dengan laporan penjualan album artis-artis di bawah naungan manajemenku.
“Kau dengar tidak kemarin Min Hyo Sung memberikan sekotak brownies cokelat pada kekasihmu?” Mataku bergulir menatapnya menyamankan diri di sofa. Tak berusaha menjawab, aku membiarkannya kembali berceloteh. “Jika aku tidak mengenalmu mungkin aku akan mengira Hyo Sung adalah kekasihnya. Mereka begitu mesra.”
Aku mendengus selagi mengeratkan cengkeraman pada bolpoin kesayanganku. “Memangnya apa yang bisa ia banggakan dari CEO sepertiku? Waktu luang saja aku ‘tak cukup memilikinya,” sahutku tajam. Kata-katanya cukup menoreh luka panjang di dalam hatiku. Begitu mesra? Aku ingin mengubur diriku hidup-hidup sekarang juga.
Tak sedikitpun peluh kuusap. Aku membiarkannya jatuh begitu saja. Hatiku masih bergemuruh dan aku belum juga menghentikan serangan brutalku. Meski tanganku sudah seperti jelly, meski kakiku sudah terlalu lelah berpijak, aku masih belum puas.
Aku menyeringai. Jadi alasan kenapa selama ini hubungan kami tetap berada di titik yang sama karena ia masih menginginkan kebebasan? Atau mungkin yang lebih parah ia mencintai adiknya sendiri. Yang sejujurnya aku tidak tahu dari mana asalnya ia mengakui seorang dengan marga Min sebagai adiknya.
Percuma selama ini aku menceritakan bagaimana kehebatan kekasihku di hadapan ayah dan ibu. Percuma bujuk rayu yang terus kukumandang agar ia sesegera mungkin meminangku. Pupus. Semua hancur bahkan dalam hitungan menit saja.
Aku terlena dengan kata-kata manisnya. Melambungkan anganku ke tingkat paling tinggi yang sejujurnya hal itu tak ubahnya sampah yang terus ia pupuk padaku. Aku tidak pernah berada di atas awan sejak dulu. Sekarang aku bahkan sentimen dengan ungkapan aku mencintaimu.
Bersamaan dengan pukulan kerasku pada samsak aku terjatuh. Napasku tersengal, tanpa sadar air mata mulai mengkhianatiku. Meluncur bebas tanpa bisa kucegah lagi. Aku meneriaki diriku sendiri bodoh berulang kali. Tak menghiraukan langkah kaki instruktur yang mulai memperpendek jarak antara kami.
Aku tak pernah berarti untuknya. Aku hanya angin lalu bagi seorang Lee Dong Hae. Bahkan ketika aku panik dua hari berturut-turut karena ia absen dari kantornya, aku tak diberi tahu secuilpun bahwa ia terserang demam. Sekali lagi aku hanya tahu dari So Yun, itupun empat hari setelah kejadian berlangsung.
Sebelum datang ke tempat ini aku mendesaknya. Menyuruhnya menumpahkan segala keluh kesah apapun itu padaku namun jawabannya sungguh membuatku muak. Tak ingin memberatkan beban pikiranku, katanya dengan mudah. Bukankah jawaban itu sudah jelas? Sama saja ia mendeportasiku keluar dari kehidupannya.
Ia membangun dinding pembatas untukku, tapi tidak untuk orang lain. Ia menolak uluran tanganku, tapi tidak uluran tangan orang lain. Hubungan kami tidak seperti simbiosis mutualisme. Bahkan gayung pun tak bersambut.
Aku masih terus memikirkan Lee Dong Hae saat instruktur Jeon melepas sarung tinjuku. Ia meringis mendapati aliran darah kering mengotori hand warp yang kukenakan. “Kau sudah memukul samsak itu selama tiga jam lebih nona,” instruktur Jeon membuka suara tanpa kuminta. Mengambil kotak P3K mencari betadine, mengolesi lukaku setelah sebelumnya ia membasuhnya dengan air. Aku bergeming, memilih menatap langit-langit.
“Aku baru tahu Song Min Seo yang sedang patah hati lebih mengerikan dari Song Min Seo berwujud Hulk yang satu bulan lalu hampir menghancurkan aset masa depanku,” ia berujar kembali selagi membebat kasa di tanganku. Aku menatapnya tajam beberapa detik sebelum menimpali, “Lututku berada tepat di bawah selangkanganmu asal kau tahu, Jeon Jung Kook.”
Ia terkikik geli meminta maaf. Setelah itu aku tak mendengarnya berbicara lagi, namun matras di sampingku terasa menjorok lebih ke bawah. Ia berbaring di sampingku. “Aku tidak tahu apa-apa, tapi kurasa aku bisa mendengarkan keluhan hatimu.” Kepalaku menoleh menatapnya kemudian berganti menatap arah pintu masuk. “Aku tidak membuka kelas lagi untuk hari ini, kau bisa mempercayaiku.”
Aku menghela napas seraya mengangguk kecil. “Baiklah. Tapi pertama-tama kau harus menemaniku makan siang. Aku benar-benar membutuhkan makanan.”
FIN-
-dengan gajenya.
A/N: Angst, Hurt/Comfort yang sangat gagal ><
Pembaca yang Baik adalah Pembaca yang Meninggalkan Jejak *NgilangbarengDonghae wkwk