Under These Skies Chapter 15

Under These Skies Chapter 15

image

Title: Under These Skies
Cast: Min Yoon Gi, Ryu Ye Rin
Genre: Angst, Hurt/Comfort, Romance, AU
Cover by: Nadse Hwang
WARNING; Lot of typo, diksi tanpa arah jalan pulang, tidak sesuai harapan dan jauh dari ekspektasi kalian saya tidak tanggungjawab/? *loh

©2017 Nadhea Rain

Chapter 15

~~~

Story begin..

Ryu Ye Rin POV

Kamis

Aku terbelalak dengan mulut setengah terbuka. Menatap Sang Hyun lalu kembali merotasikan netra pada sepasang kekasih tidak tahu tempat bermesraan itu lamat-lamat. Ada perasaan sesak ketika aku menatap raut wajah sendu Sang Hyun. Seolah cita-citaku sewaktu kecil ingin melompat dari kurungan hati dan menunjukkan eksistensi.

Aku ingin menyelamatkan dunia. Menyelamatkan anak-anak yang tidak memiliki orangtua lengkap sama sepertiku. Menjadi Power Rangers Biru keren dengan hewan ajaib berupa kucing manis. Oh, bahkan bayangan Ji Min, Tae Hyung dan Ho Seok tertawa meremehkan benar-benar terdengar di telinga.

Peringatan dalam tubuhku membunyikan sirine siaga satu. Berharap agar aku tidak mencampuri urusan orang lain seperti hari lalu. Namun aku menatap Sang Hyun sekali lagi. Semakin bersalah karena ia hanya memandang getir tanpa berusaha membuka suara. Aku tidak bisa diam saja. Aku tidak bisa membiarkan tanggungjawabku terluka.

Aku menghela napas. Berdeham keras-keras, cukup didengar pasangan menyebalkan di depan sana. “Maaf atas kelancanganku, Tuan dan Nyonya. Tapi pemandangan barusan tidak cocok dikonsumsi oleh anak-anakku.

Suaraku lantang tanpa adanya getar dan sengaja menekankan kata anak. Wanita itu terkejut menatap Sang Hyun namun ia tidak melakukan apa-apa. Sementara kekasihnya hanya memutar mata jengah. Dan Sung Jin yang tidak tahu menahu tentang keadaan menjinjing sebelah alis.

“Oh, maaf. Kami tidak tahu bahwa Anda serta anak-anak Anda sedang berbelanja di sekitar kami.” Si pria ikut menyalak padaku. Aku mendecih tidak suka. Kemarahan dalam diriku semakin meluap saat ibu Sang Hyun tidak menunjukkan tanda-tanda ingin membela sang anak. Atau tanda jika ia mengenali putranya sendiri.

Pengecut. Sebagai seorang wanita seharusnya ia malu dengan dirinya. Jika aku jadi wanita itu, aku akan membeberkan pada dunia bahwa aku memiliki seorang putra. Yang tampan, yang berkharisma, yang manis dan yang kucintai lebih dari hidupku sendiri. Tapi mengapa dia tidak melakukannya? Oh, aku tidak akan terkejut jika suatu saat nanti Sang Hyun berpura tidak mengenali sang ibu. Dia pantas mendapatkan lebih dari ini.

Aku tersenyum remeh. Mengambil saus tomat ukuran dua ratus tujuh puluh lima mili tidak jauh dari mereka. Akan tetapi aku tidak berusaha menanggapi. Justru melenggang santai kembali pada troli. “Well, anak-anak. Mari kita tinggalkan mereka yang tidak tahu menahu tentang cara berperilaku di hadapan anak kecil. Aku yakin kalian sudah lapar sekarang.”

Bibirku mendaratkan ciuman ke pipi-pipi Sung Jin dan Sang Hyun. Melirik sekilas pada sang wanita yang mengeraskan tatapan padaku. Persetan dengan ibu sepertimu, Sialan. Ujarku dalam hati. Aku merasa menang dengan membiarkan anak-anak berjalan di depan troli. Sang Hyun tersenyum manis. Memberi ucapan terima kasih dalam diam.

Sesuatu dalam diriku bergejolak lagi. Sekilas Sang Hyun mirip denganku; tidak memiliki ibu yang akan melambungkan namanya tinggi-tinggi saat mendapat peringkat kelas. Namun tidak juga. Sang Hyun memiliki ibu, setidaknya sampai ia berusia lima tahun, sementara aku tidak sama sekali.

Aku mendorong troliku dengan senyum getir. Ulang tahunku sama seperti hari kematian ibu. Dan setiap kali aku merayakannya, aku tidak tahu harus merasa senang atau justru merasa ingin menangis. Nenekku selalu memasak sekaligus; perayaan ulang tahun serta peringatan kematian. Dan aku baru tahu hal ini saat usiaku menginjak tujuh tahun.

Sung Jin dan Sang Hyun membantuku membongkar troli. Aku tersenyum mengusap surai keduanya seraya berbisik, “Setelah ini Paman Ji Min akan mentraktir kita, Sayang.”

Dan sesuai dugaanku mereka melompat kegirangan. Aku membayar bill yang tercetak pada monitor, mengabaikan fakta bahwa aku belum sempat berbelanja pakaian. Biarkan saja. Yoon Gi akan memaklumi hal ini jika Sang Hyun buka mulut.

Aku menjinjing dua kantung belanjaan dengan kedua tangan. Berjalan mengekori Sung Jin dan Sang Hyun yang sibuk memilah tempat makan. Lalu Sung Jin berbalik padaku dengan mata berbinar. Seakan baru saja memenangkan kejuaraan sepak bola internasional.

“Bagaimana dengan pizza, Ibu?” Sung Jin menengadah dengan senyuman super. Dua lesung pipi tercetak manis di wajah gembil putraku. Terkadang aku harus linglung saat ia terlihat begitu mirip dengan bajingan sialan yang sudah meninggalkanku.

“Umm…,” aku menggantungkan kalimat. “Bagaimana Sang Hyun? Apa kau setuju?”

Sekilas Sang Hyun seperti mendapat kejut jantung saat mendengar ucapanku. Namun ia mengangguk gembira. Membuat Sung Jin ikut serta berbahagia.

Selagi keduanya berjalan di depanku, aku merogoh saku demi mencari ponsel. Ji Min meneleponku beberapa kali dan aku meringis. Kuharap pria ini masih selembut dulu sehingga tidak akan menceramahiku karena telat mengangkat telepon. Aku memencet tombol dial, menunggu hingga dering kedua dan suara Ho Seok yang terdengar di telinga.

Ho Seok? Oh, Tuhan!

“Astaga Ryu! Kupikir kau akan membatalkan pertemuan kita!” Ho Seok berseru. Membuatku harus menjauhkan ponsel dari telinga jika tidak ingin mengalami penurunan pendengaran.

“Oh, maaf. Kau tahu kebiasaanku membuat mode senyap, ‘kan?” Aku berjalan sedikit lebih cepat saat Sung Jin dan Sang Hyun sudah memasuki restauran. “Kita makan pizza, ya? Anak-anakku yang menginginkannya.”

***

“Hei, Dada Rata!”

Aku meringis mendengar Ho Seok mengucapkan nama panggilan menyebalkan itu keras-keras. Netraku membelalak garang. Membiarkan pria bodoh itu tahu bahwa aku tidak menyukai ucapannya barusan. Sung Jin dan Sang Hyun menjinjing sebelah alis namun aku tidak peduli.

Ho Seok berjalan sebagai pemimpin sementara Ji Min dan Tae Hyung mengekor di belakang. Mereka berdua tersenyum secerah matahari kecuali Tae Hyung yang entah mengapa terasa sedikit bosan. Oh, jangan katakan jika ia diputuskan wanita lagi.

“Aku tidak tahu jika kau tidak bergurau tentang anak-anakmu. Maksudku, lebih dari satu.” Ji Min memelukku, menyentil keningku dengan jari kecilnya yang manis. “Hei, anak-anak manis. Masih ingat dengan Paman Ji Min?”

Sung Jin mengangguk. Memberikan senyuman manis, melupakan keju mozarella yang lezat di potongan pizzanya. “Tentu, Paman!”

“Dan siapa si tampan ini?” Ho Seok menyeru. Mendekati Sang Hyun yang memasang senyuman jua. “Apa kau memiliki putra kembar? Seingatku kau hanya melahirkan Sung Jin.”

“Dia anak asuhku,” jawabku cepat. Tidak ingin Tae Hyung berkata macam-macam di depan anak-anak. “Min Sang Hyun. Tetanggaku. Ayahnya seorang dokter dan ya, kau tahu sendiri jawabannya.”

***

Kami pulang terlambat. Aku tahu ide reuni melibatkan anak-anak tidak akan berjalan baik, maksudku, mereka butuh istirahat setelah kelelahan berbelanja dan aku justru memanfaatkan keadaan dengan membawa mereka serta. Ji Min, Ho Seok, Tae Hyung dan aku tidak akan berhenti hanya membahas satu topik. Dan Demi Tuhan ini sudah hampir pukul setengah delapan malam.

Dan ponselku terus saja berbunyi.

Dan kemarahan Min Yoon Gi membayang di sekitar kemudi.

Menyebalkan. Aku melajukan truk secepat yang kubisa. Membiarkan Sung Jin dan Sang Hyun membicarakan game favorit masing-masing. Aku mengembuskan napas lega setelah memasuki pelataran rumah Yoon Gi. Dan sesuai dugaanku pria itu duduk di teras dengan ekspresi sulit terbaca.

Aku mematikan mesin truk, berjalan keluar menjinjing senyuman lebar. Sung Jin dan Sang Hyun juga mengeluarkan ekspresi serupa meski aku tidak meminta. Lalu Yoon Gi membantuku membongkar belanjaan dan aku sendiri belum berniat membuka percakapan. Kombinasi antara perasaan sebal dan gembira memberikan efek tidak baik untuk otakku yang terbiasa digunakan untuk berpikir cepat.

Kami menaruh barang belanjaan di meja dapur, kembali mengikuti anak-anak yang sudah terlebih dahulu menempati ruang santai. Sung Jin menonton acara televisi dan Sang Hyun mengekor di belakang Yoon Gi seakan ingin mendapat atensi.

“Tadi aku bertemu ibu, Ayah. Ibu bersama kekasihnya yang baru.” Sang Hyun menatap Yoon Gi lamat-lamat. Membiarkan pria itu berhenti lalu duduk di sofa kosong yang tersisa. Aku tahu cepat atau lambat Sang Hyun akan mengatakannya jadi aku berusaha menjadi pendengar yang baik.

Yoon Gi sedikit terkejut namun raut wajahnya kembali dingin beberapa detik kemudian. “Benarkah? Apa ibu melihatmu?”

“Ya.” Sang Hyun mengangguk. Secepat kilat ekspresi kecewa seperti sore tadi sudah mampir di wajahnya. “Tapi ibu tidak menyapaku.”

Sung Jin menoleh, tidak lagi fokus dengan televisi. Ia memalingkan tatapan padaku. Bertanya dalam diam seolah kami mampu berbicara melalui telepati. Aku mengangguk. Berusaha mengatakan biarkan saja mereka berbicara dari hati ke hati. Dan betapa beruntungnya aku karena ia mengangguk mengerti.

Yoon Gi menghela napas hati-hati. Aku tahu ekspresi itu. Ekspresi seorang ayah terbaik yang hampir kehilangan predikat. “Apa kau kecewa?”

Sang Hyun menggeleng. Sendu di wajahnya masih tersisa namun ada setitik ekspresi lain yang muncul, cepat menghilangkan rona sendu itu sendiri. “Awalnya iya. Tapi Bibi Ye Rin membelaku.”

Yoon Gi mengalihkan tatapan padaku. Dan aku mendadak kikuk. Aku hanya mengangguk dan tersenyum canggung. Apa yang pantas dibanggakan ketika menyalak seseorang? Aku hanya ingin melakukannya karena merasa tertindas. Dan tidak perlu dibesar-besarkan.

“Syukurlah. Ayah tidak perlu khawatir tentang hal itu ‘kan?” Yoon Gi bertanya pada Sang Hyun lagi. Aku ingin meminta izin untuk pulang namun sepertinya tatapan Yoon Gi tadi menyiratkan sebuah ketidakmungkinan. Sang Hyun mengangguk, membuat Yoon Gi tersenyum kecil. “Ayah akan berbicara sebentar dengan Bibi Ye Rin. Sementara itu bisakah kalian bermain game di kamar Sang Hyun?”

Dan aku tidak terkejut mendengarnya. Kedua putra kami segera melenggang pergi. Menyisakan aku bersama Min Yoon Gi yang kini menatapku masih dengan ekspresi dingin. Aku menghela napas. Merasa sedikit canggung entah karena apa.

“Terima kasih,” kata Yoon Gi. Meskipun ia berterima kasih namun raut wajahnya tetap saja datar. “Sang Hyun merindukan ibunya sejak semalam dan aku tidak tahu takdir justru mempertemukan mereka dalam kondisi kurang menyenangkan.”

Aku melipat tangan di depan dada. “Sejujurnya aku tidak ingin ikut campur tapi ketika melihat Sang Hyun, aku merasa berkaca pada diriku sendiri. Dan entah mengapa aku menyalak mantan istrimu begitu saja.”

Yoon Gi diam. Mencerna informasi yang baru saja kuberikan dengan emosi tidak terbaca. Lalu setelah beberapa keheningan terlewati, ia berujar, “Ceritakan kronologisnya.”

“Kami berada di lorong bahan makanan saat Sang Hyun berhenti dan mendadak kaku. Saat aku mencari sumber masalah, aku melihat mereka bermesraan di depan umum. Mantan istrimu dipeluk dari belakang oleh seorang pria saat memilih dua kaleng kornet. Dan Sang Hyun mengatakan ‘ibu’ jadi aku benar-benar panik.” Aku menghela napas. Bercerita mengenai pengalaman buruk memang menguras tenaga. “Lalu aku menyalak, mengatakan bahwa adegan peluk-memeluk yang mereka praktekkan tidak sesuai dikonsumsi anak-anakku. Di situ aku melihat mantan istrimu mengeluarkan tatapan mengeras tapi dia tidak melakukan apa-apa. Oh sialan brengsek. Jika aku jadi dia, aku akan mengatakan pada pria itu bahwa Sang Hyun adalah anakku. Bagaimana bisa dia terlihat begitu tenang saat tidak mengakui anaknya sendiri?”

Yoon Gi masih tetap diam. Aku tidak tahu mengapa ia tidak marah atau mengapa ia tidak bereaksi berlebihan. Namun ia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Dan aku ragu untuk bertanya.

“Seharusnya aku tahu dari awal. Alasan dia meminta cerai dariku dan menolak mendapat hak asuh Sang Hyun karena pria itu. Kim Joon Myeon.”

To Be Continued..

Leave a comment