Breathe [BTS Version] Chapter 1

Breathe [BTS Version] Chapter 1

image

Title: Breathe
Cast: Jeon Jung Kook, Im Na Young, Han Sa Na
Genre: Marriage Life, Angst, Kekerasan, Romance, AU
Cover by: Nadhea Rain Art
Length: Chaptered
WARNING: Mengandung kekerasan dan bumbu ‘Marriage Life’ lain, jika tidak kuat disarankan klik tombol BACK. Lot of typo, diksi tanpa arah jalan pulang, dan jauh dari ekspektasi kalian jadi jangan terlalu berharap/? *plak

“Berikan kesempatan untukku bernafas sekali saja. Rasanya oksigen berwujud dirimu malah semakin membuatku sesak.”

~~~ B R E A T H E ~~~

Chapter 1

Story Begin..

Terdengar bunyi ‘khuk’ cukup keras memekak telinga. Buru-buru gadis manik hazel menegak jus stroberi yang sedari tadi berdiam di meja. Wanita lain di cafe itu hanya mampu menunduk. Helai-helai obsidian bergelantung di pipi porselen miliknya.

“Bagaimana bisa kabar ini tak kauberitahukan pada Jung Kook?” setelah cukup baik sang hazel baru bercicit. Cafe sore hari dengan dua sahabat berkumpul kembali, sungguh seharusnya suasana yang menyenangkan terjadi namun justru sebaliknya.

Wanita pucat menggeleng lemah sebagai jawaban. Memutar-mutar sendok Melya dengan tangan kanan, “Dia terlalu sibuk dengan risetnya, dan….”

“Han Sa Na?” terka gadis bersurai cokelat tepat. Si gadis memutar mata jengah, kembali menyomot sedikit cheese cake, melahapnya penuh-penuh. Ia melihat anggukan kecil tercipta dari sahabatnya. “Jeon Na Young, dengar. Aku yakin jika kau mengatakannya sekarang, dia akan berubah padamu.”

Wanita yang dipanggil Jeon Na Young masih diam. Menggigiti bibir ranum tipisnya sendiri. Menimang kiranya jawaban apa yang akan ia layangkan untuk sahabat karibnya. Ia tidak mengerti, sungguh. Bagaimana cara menyampaikan masalah pribadinya saja ia tak memiliki kekuatan. Yang bisa ia lakukan hanya menghela napas, membuat sahabat karibnya terdiam di tempat.

“Percaya padaku, semua akan kembali seperti sedia kala.” Ryu Ye Rin, sang gadis hazel meyakinkan. Ia genggam tangan Na Young erat, memberi kekuatan lebih pada wanita di hadapannya.

###

Langit berbingkai awan pekat menyapa Na Young saat langkahnya menjajaki keluar gedung. Seusai acara membungkuk dengan rekan mengajarnya, ia memilih berjalan kaki. Meski tahu tidak akan secepat jika naik taksi tapi toh ia tak perduli. Meminta dijemput Jung Kook bukan ide yang bagus, karena mereka sama-sama menyukai berjalan kaki di bawah langit yang sama.

Titik sebesar biji jagung perlahan menyentuh permukaan tangan. Awan hitam selalu identik dengan hujan, begitulah yang terus tertanam di mindset otaknya. Dan tak rugi pula ia membawa sebuah payung cukup lebar berwarna biru gelap. Teman yang senantiasa hadir meski di sampingnya tiada siapa-siapa.

Sembari mengusap perutnya yang masih datar, ia memilih membelah hujan daripada berteduh. Setidaknya sampai di rumah terlebih dahulu untuk menyiapkan makanan tidak buruk. Senyum mengembang di bibir tipisnya. Begitu damai. Tanpa tahu takdir apa yang akan bermain untuknya setelah ini.

‘Aku akan membuat gratin spesial untukmu,’ gumamnya di tengah derai yang terus menari-nari. Ia menjajaki langkah, tak peduli jika kecipak air memberikan noktah noda di seragam dinasnya.

Dua puluh menit berlalu. Gerbang bercat broken white pun sudah nampak di indera pengelihatannya. Lengkung bulan sabit semakin jelas tercipta. Dengan tergesa ia mendorongnya, berlari kecil menggapai beranda lalu membuka pintu utama.

Ia melepas alas serta kaos kaki basah yang menempel di kaki jenjangnya, menempatkan di sudut bawah rak sepatu. Iris cokelat kelamnya menumbuk benda kulit hitam berukuran lebih besar sudah tersedia di sana. Hela nafas kecewa tercipta begitu saja. Suami tercintanya sudah pulang. Gagal sudah rencana yang sedari tadi menjadi alasan awal kepulangannya.

Tanpa pikir panjang ia menelusup, masih diiringi lengkung manis-yang kadar kemanisannya sedikit berkurang-menuju kamarnya yang ada di lantai dua berniat mengganti pakaian. Sayup terdengar sahut-menyahut suara kepuasan dua orang yang tengah bercumbu saat kaki jenjang Na Young menapak pijak terakhir tangga. Langkahnya terhenti, seakan benar-benar kaku untuk sekedar menjauh.

“Oh Tuhan, ya. Di sana–aahh.”

Jantung Na Young memompa cepat memberikan efek degup kencang sangat kentara, desir darahnya pun tak beraturan. Bahkan bulir-bulir bening begitu saja menyeruak netra.

Bagian paling rentan tubuhnya tertohok, bagai dihunus ribuan pedang tajam. Napasnya tercekat, liquid bening pun sudah mengalir deras menganak sungai di kedua pipi si wanita cantik. Tangan porselen Na Young tergerak mengatup bibir. Mencoba meredam tangis pilu di antara ribuan titik air yang gaduh di luar. Meminimalisir dugaan bahwa ia mengganggu kenikmatan dua manusia di ruangan lain di sana.

Jemari lentiknya beralih menutup rapat kedua daun telinga. Cukup sudah. Sekali lagi ia menghela napas. Mendapat kembali kekuatan, kakinya mengajak berlari, menjauh. Menuju peristirahatan pribadi yang baru beberapa bulan terakhir diclaim sebagai ruang tinggalnya di rumah ini. Terakhir sebelum tangis Na Young semakin pecah, sebuah guci dengan warna senada dinding telah berhasil mendarat sempurna di lantai. Menabrak. Menimbulkan ricuh yang tak biasa.

Tidak ada yang pernah tahu, pesakitan seperti apa yang tengah menggerogoti hati juga perasaannya. Tidak ada yang tahu.

***

Derit pintu yang dibuka cukup mengejutkan Na Young yang masih tersedu. Hujan sudah mulai reda namun tak berlaku untuk tangisnya yang bahkan makin kencang saja. Ia mendongak, sekadar mengamati jam yang tergantung manis di dinding kiri kamar. Pukul setengah lima sore. Sudah terlalu larut untuknya menumpahkan sumpah serapah.

Niat memasak pun sudah tak ia miliki lagi. Hanyut terbawa arus rasa sakit yang kian membuncah di dada. Mengganti pakaiannya yang basah sekalipun ia enggan-ia tak peduli.

“Kaupikir berapa harga guci itu Jeon Na Young?” teriak suara berat favorit Na Young. Pria jangkung dengan tubuh tegap memasuki ruangan, menyidekap dua tangan di depan dada. Memancang senyum angkuh.

Wanita bersurai obsidian tak menyahut. Terpaku dengan lelehan krystal bening yang terus tercipta. Bisa ia dengar langkah berat mendekatinya, semakin dekat hingga pipi-pipinya panas karena tangisnya tak jua berhenti.

Tangan kekar mengangkat dagunya kasar. Membawanya menatap manik hitam kelam penuh kilat amarah milik pria itu, Jeon Jung Kook. “Buatkan aku dan Sa Na makan malam, bersihkan pecahan guci dan kau baru bisa istirahat.”

Titah yang entah mengapa membuat dadanya begitu sesak. Lagi. Bulir bening tergulir begitu saja. Mendengar nama wanita lain terucap dari bibir Jung Kook sama saja dengan membunuhnya secara berkala. Hari ini disayat dengan silet, esok dirobek dengan pedang. Pedih. Perih. Na Young mengeluh dalam hati.

“A-aku sedang tidak enak badan, guci itu terjatuh saat tak sengaja badanku terhuyung. Maaf. Tapi aku benar-benar tak bisa memasak,” elak Na Young memberanikan diri menatap manik kelam pria tampan Jeon.

Tak habis akal Jung Kook menempelkan punggung tangannya di kening Na Young, berniat mengecek suhu badan sang istri. “Tidak! Cepat bangkit dan masak sesuatu untuk kami. Hanya demam kecil tak akan membuatmu selemah yang kau bayangkan. Kaubilang sendiri padaku jika kau kuat. Cih. Istri merepotkan.”

Cengkeraman tangan hangat bungsu Jeon terlepas dari dagu Na Young. Pria itu melangkah kembali, menutup daun pintu dengan ritme tak biasa. Bunyi benturan kayu menggema keras. Membuat kekosongan dalam diri Na Young semakin melebar. Kini Jung Kook sudah bergerak menghilang. Serta merta dengan sebelah hati Na Young yang mengabur.

Salahkah Na Young dengan keadaan ini? Semua yang tergaris lima bulan terakhir memang mencoreng luka di hatinya dengan begitu dalam. Ia seolah terhempas ke titik paling rendah kehidupan. Lalu tak mampu kembali sekadar menata kembali apa yang seharusnya bisa ia pertahankan.

Sebuah krystal bening kembali meluncur bebas. Seperti menelan ribuan pil dalam sekejap. Begitu pahit. Bahkan mungkin Tuhan sudah tak mengijinkan lagi rasa manis tersuguh untuk hidupnya setelah hari ini.

###

Na Young mengerjap beberapa kali. Menyesuaikan manik cokelatnya dengan cahaya yang terasa menusuk-nusuk. Baru pukul dua tiga puluh dini hari tapi morning sickness sudah melanda. Membuatnya bangkit menanggalkan isi perut yang bahkan hanya terisi dengan sisa masakan semalam.

Ranjang queen size beraksen cokelat merah sedikit bergejolak saat Na Young menghempas tubuh rampingnya lagi. Cokelatnya menatap tajam langit-langit, tersenyum sinis menyalahkan kilat lampu kecil yang dapat ditangkap sang netra. Lelah. Hembus kasar napas terdengar.

Harapan untuk mendapati tangan kekar melingkari pinggangnya pupus-bagai menanti bumi dapat mensejajar langit. Nyatanya saat netranya terbuka, ia mendapati kosong yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Helaan yang ia loloskan semakin sesak. Ribuan bahkan jutaan pedih tengah menggerogoti dirinya.

Apa di kehidupan sebelumnya ia memiliki dosa yang tak dapat diampuni? Mengapa beban yang ia pikul makin lama makin berat? Anak sungai kembali menyeruak. Benarkah takdir tengah mempermainkannya? Atau mungkin sebenarnya ia lah sang pengganggu itu?

Buku-buku jemarinya memutih saat cengkeraman kuat di tangan terus ia lakukan. Siapa yang akan menyangka jika wanita bernama Han Sa Na-atau tepatnya Jeon Sa Na-mengaku bahwa ia juga istri sah sang suami? Bahkan kenyataan lain pun harus ia telan bulat-bulat, kepala keluarga kecil itu bahkan tak membantah atau mengelak. Yang artinya ia memiliki madu, yang jelas lebih cantik, lebih menarik dibanding dirinya yang hanya seorang guru di sekolah menengah.

Entah sudah kali ke berapa Jung Kook tak lagi datang ke kamarnya. Merengkuh tubuh ringkihnya dengan tangan kekar. Membangkitkan semangat Na Young hanya dengan aroma Musky khas satu-satunya pria di rumah ini. Entah kapan tepatnya ia juga lupa. Sudah terlalu lama kosong meninabobokan dirinya.

Semenjak kamar mereka terpisah-tentu karena Na Young menghendaki tidur di kamar utama-ia tak pernah mengenal suaminya lagi. Sorot hangat manik hitamnya berbeda, senyuman manis, rengkuhan, kecupan maupun sentuhan sang bungsu Jeon telah berubah. Prianya tak semanis dulu. Ia bahkan ragu, benarkah sekarang Jeon Jung Kook di rumahnya adalah suami yang mengikrar janji suci bersamanya dua tahun silam?

Sering kali bekas gambar tangan tertoreh di pipi porselennya, makian, cacian, membuatnya sesak. Tersengal. Ia bahkan merasa tak dapat bernapas meski di sekelilingnya jutaan partikel oksigen berlalu lalang. Semua berubah. Semua berbeda. Na Young menangkup tangan di wajah.

***

Selintas gurat lengkung kecil tercipta. Menambah kesan ayu di paras rupawan Na Young. Semangat pagi dari sang calon buah hati membawa energi positif untuk dirinya. Meletakkan piring terakhir berisikan dua potong sandwich ke sisi kanan meja, ia termenung. Tempat yang seharusnya ia claim sebagai kepunyaannya seorang sekarang sudah diisi orang lain.

Tanpa aba-aba sesak bergelayut kembali di dada. Mengambil napas pun seolah terasa begitu susah. Betapapun ia mengumbar kata tak sanggup, mengeluh, menangis sejadinya pada Tuhan-atau pada sahabatnya sendiri Ryu Ye Rin, tak akan membuatnya luntur akan janji sucinya di hadapan pendeta. Bahwa dalam keadaan susah maupun senang, sakit ataupun sehat, ia akan tetap mendampingi Jung Kook. Membiarkan hatinya robek dengan berpuluh luka pun ia tak peduli.

“Baguslah jika kau sudah mengerti tugasmu. Jadi aku tak perlu membuang tenaga untuk membangunkan pembantu malas sepertimu.” Na Young tersadar dari lamunan. Buru-buru ia memalingkan wajah, menoleh ke sumber suara yang tak kalah familiar untuknya. Sa Na, berdiri berkacak pinggang dengan jarak tak terlalu jauh Bibir tipis itu menyungging senyum sinis. Senyum merendahkan yang selalu ia layangkan semenjak pertama kali bertemu dengan Na Young.

“Aku menjalankan tugasku sebagai seorang istri. Bukan menjadi pembantu. Lagipula aku adalah istri yang baik yang mampu mengerti kebutuhan suami.” Na Young berujar tak kenal gentar. Ujung celemeknya ia remas sendiri menyalurkan perih yang menggelayut. Ingin sekali ia menyumpal mulut manis itu dengan lap meja.

Sa Na berkilat marah. Dengan cekatan kaki-kakinya menapak, ‘tak butuh waktu lama untuknya berada tepat di hadapan Na Young. “Omong kosong. Kau bahkan tak bisa membuatnya menyerukan namamu saat kalian bercinta!”

Satu tamparan keras melayang di pipi kiri Na Young. Panas. Tercetak gambar tangan dengan sangat jelas di sana.

“Kau bahkan ‘tak pernah bisa memberikan kepuasan untuk Jung Kook dan kau berani mengataiku istri tidak baik? Seharusnya kau berkaca pada dirimu sendiri!”

Gemertak gigi Na Young memuncak, diiringi urat-urat lehernya yang makin jelas. Tangannya melayang ke udara, siap memberikan pelajaran pada Sa Na kapan saja. Namun lagi-lagi ia harus menyecap hampa, tangan porselennya terkurung oleh tangan besar yang selalu ia rindukan. Situasi sulit, ujarnya dalam hati.

“Apa yang akan kaulakukan?” Jung Kook berujar dingin. Cengkeraman di tangan Na Young makin kuat. Emosi tengah melingkupi seluruh sendi-sendi tubuhnya.

“Kau salah pa …” ucapan Na Young terhenti-

“Dia akan menamparku sayang hiks. Gara-gara aku berkata aku merepotkannya karena tak bisa memasak, dia langsung marah dan mencoba menamparku. Hiks” -karena Sa Na kini menangis. Melingkarkan tangan dan membenamkan kepalanya ke dada bidang Jung Kook. Opera sabun klasik.

“Sshh ….” Na Young hanya bisa berpaling. Muak dengan segala akting yang sudah sering tereka di mata kepalanya. Ia sudah hafal apa yang akan terjadi selanjutnya, suaminya akan membela wanita itu mati-matian, dicampakkan, begitu selanjutnya hingga seringai tajam Sa Na menguar.

“Sa Na memang tak bisa memasak, lalu apa masalahmu? Kau tidak pernah mengeluh meski aku memintamu memasak tengah malam dan sekarang kau berani menampar istriku?”

Deg. Cukup terhenyak Na Young dengan suara Jung Kook yang meninggi. Ditambah tamparan keras kembali terulang di pipi sebelah kirinya. Membuat bulir-bulir krystal berjatuhan deras. Ia beranjak tanpa melepas celemek. Memegangi sendiri pipi kirinya yang terasa amat panas. Juga gemuruh hatinya yang menyala-nyala. Pandangannya sedikit mengabur. Banyaknya cairan yang menggenangi pelupuk mata cukup menyulitkan konsentrasinya menjajaki tangga.

Tanpa Sa Na sadari Jung Kook mengepal tangannya sendiri kuat-kuat. Entah apa tujuannya yang jelas raut wajahnya terlihat amat menyesal. ‘Tangan ini telah melukainya terlalu jauh’ pikir sisi lain Jung Kook, namun ia ‘tak jua beranjak. Masih setia merengkuh sang istri pertama.

###

Mega hitam kembali menggelayut memadati Seoul sore ini. Rintik-rintik kecil mulai menghujam. Menyelubung. Menahan siapa saja yang hendak melintas ke luar.

Sepertinya bumi mengerti akan pilu Na Young. Ikut menangis di tengah kemelut yang entah sampai kapan akan terus menghantui tidur maupun sadarnya. Lamat-lamat kakinya melangkah setelah terdengar bunyi klek dan payung biru setianya membentang. Melindunginya dari ribuan molekul cair yang menjatuhkan diri.

Ia mulai menaiki trotoar, berjalan sendirian sementara pikirannya sedang pergi entah ke mana. Mengingat kencan pertama berakhir hujan-hujanan di bawah payung yang sama dengan yang ia gunakan membuat sebelah hatinya menghangat. Menahan perih sendiri menelan kenyataan bahwa mungkin seterusnya hal itu tak akan pernah terwujud lagi.

Tidak akan ada lagi yang meniup tangannya di musim dingin saat ia menggigil.

Tidak akan ada lagi yang merengkuh tubuhnya saat demam tinggi menyerang.

Tidak akan ada lagi yang merapikan anak rambutnya yang dengan sengaja menutupi cokelat indahnya.

Tidak akan ada. Tak akan pernah ada lagi Jeon Jung Kook hangatnya. Sekarang hanya tinggal Jeon Jung Kook yang dingin. Yang tak pernah ia kenal seujung kukupun.

“…Young? Jeon Na Young?” Kembali ia tersentak pada dunia nyata. Di hadapannya kini seorang pemuda berkemeja biru gelap dengan payung tengah menatapnya heran.

“Kau pucat. Tak baik hanya berdiri disini, hujan sangat deras” pria itu menyembul dari payung yang ia gunakan sekadar memperhatikan Na Younf dari dekat. Menatap lebih intens sang pemilik mata cokelat di hadapannya.

Na Young tersenyum kaku. Ia bahkan tidak sadar sudah berapa lama kakinya berhenti berjalan. “Terima kasih. Aku baik-baik saja. Aku pamit.” Senyum palsu. Lagi-lagi ia bisa menutupi ekspresinya sendiri.

Buru-buru ia membungkuk lalu mulai menelusuri jalanan lagi. Baru beberapa langkah namun tubuhnya serasa berputar ke segala penjuru mata angin. Manik cokelat gelapnya berkunang, mengabur, selanjutnya yang ia lihat hanya gelap.

###

“Engh-” pertama kali yang dirasakan Na Young adalah pening yang cukup hebat. Cokelat gelapnya terbuka, mengintimidasi ruangan dominan putih yang terasa begitu asing. Bau obat-obatan serta selang yang tertancap di tangan kirinya membuatnya mengerti-ia sekarang berada di rumah sakit.

“Selamat malam nyonya Jeon. Syukurlah anda telah siuman,” seorang suster cantik menyapa Na Young. Memberikan pengecekan suhu tubuh dan tekanan darah biasa.

“Seorang pemuda yang membawa anda kemari, dia hanya menitip pesan akan segera kembali.” Lagi sang suster menjawab raut kebingungan di wajah Na Young.

Sebisanya lengkung manis ia beberkan. Menerka siapa gerangan pemuda baik hati yang segan menolongnya. “Terima kasih. Tapi aku tak bisa menginap, suamiku pasti khawatir.”

“Setidaknya kau harus dirawat selama dua hari bodoh. Kau tidak memikirkan nasib calon keponakanku ya?” suara lain melengking di ruangan itu. Mau ‘tak mau membuat Na Young menoleh. “Astaga Na Young, aku langsung datang setelah mendapat telepon dari Tae Hyung. Setelah ini kau harus berterimakasih padanya,” Ye Rin berujar lagi. Membuat Na Young terkikik kecil dengan penampilan sahabatnya yang berantakan-terlihat bukan seperti Ye Rin yang biasa ia lihat.

“Kenapa? Hei, jaga matamu dari menilai penampilan seseorang. Selain tidak sopan-Oh Tuhan-aku tidk akan pernah tampil seburuk ini jika ‘tak menyangkut kesehatanmu.”

Na Young tertawa kecil menepuk tangan Ye Rin. Ia bahkan telah melupakan kekhawatirannya sekarang. “Baiklah. Kau memang yang terbaik Ye Rin-ah.”

Setelah acara pelukan singkat Ye Rin mengambil duduk di samping bangsal Na Young. Mengode singkat agar sang suster melanjutkan pekerjaannya setelah memberikan beberapa butir obat. Gadis cantik itu mengambil gelas air putih dari nakas. “Minum obatmu dulu,” titahnya tenang.

Na Young menurut. Menegakkan tubuh duduk bersandar dinding, meminum obat yang disiapkan sahabatnya.

“Kau belum mengatakannya?” Ye Rin menatap ke luar jendela. Ke arah daun-daun basah yang bergoyang. Sejenak Na Young menggeleng pelan. Memainkan jemari lentiknya, ‘tak berani menatap iris senada miliknya secara langsung.

“Bodoh. Aku terlanjur memakinya di telepon tadi.”

Dahi Na Young sukses mengerut. Menampilkan tiga garis lurus di sana. “Kau meneleponnya?”

Kali ini Ye Rin yang mengangguk. Ekspresinya benar-benar menampilkan kepuasan mendalam. “Ya. Aku sempat memarahinya karena tak becus menjaga istrinya yang tengah mengandung. Cih pantas saja dia tak menyahut.”

***

Hawa dingin makin menyeruak meniup-niup kulit. Mungkin saat ini suhu sudah turun beberapa derajat. Membuat siapa saja memilih untuk menyembunyikan tubuh mereka di balik selimut atau hanya jaket tebal saja.

Beberapa kali terakhir mual kembali menyerang Na Young. Membuat suster khusus di ruangannya bolak-balik beranjak untuk sekedar menemani wanita bersurai obsidian ke wastafel.

Iris cokelatnya kini tak mampu terpejam. Membulat penuh seolah sekarang adalah siang hari yang mengharuskannya membuka mata. Percuma, pikirnya. Sedari tadi wanita cantik itu hanya menunggu satu orang. Satu orang yang mungkin memang tak lagi memiliki daya kepekaan untuknya.

Ia ‘tak ingin menangis lagi sekarang. Cukup. Sudah cukup ia menunjukkan sisi lemahnya. Satu jawaban yang kini terpatri jelas dalam otaknya: menangis tak akan mengubah apapun.

Na Young mencoba memejam. Mengambil posisi nyaman untuknya berbaring. Lalu detik berikutnya ia sudah terlelap-sedikit. Namun telinganya masih mampu menangkap desau daun yang bergesekan dan suara malam lain tak terkecuali tetesan infusnya sendiri.

Gagang pintu ruang Na Young diputar. Derap langkah yang sengaja dipelankan-untuk mengurangi kebisingan gesek pantofel dengan lantai-terdengar jelas. Wanita obsidian itu mampu menangkap sempurna suara-suara yang timbul. Namun untuk sekedar membuka mata, ia kalah dengan raganya yang kelelahan.

Sebuah ciuman hangat mendarat di kening. Anak rambut yang mengganggu telah disingkirkan. Ia merasakan tangannya digenggam cukup kuat. Namun tak ada rasa sakit yang tercipta.

“Maafkan aku.” Deg. Suara yang sangat ia rindukan, ia nantikan. Benarkah kini pria itu yang tengah menggenggam dan menciumnya? Atau hanya bunga tidur semata?

“Aku cukup tak memiliki nyali untuk memperhatikanmu.” Ia merasakan kecupan di punggung tangannya.

“Terimakasih telah mewujudkan impianku. Terimakasih telah mengandung darah dagingku.” Tidak. Ia sudah berjanji untuk tak menangis namun lelehan air bening muncul di kedua sudut mata sipitnya.

“Bahkan dalam tidur pun kau menangis sayang? Sshh ….” Ia merasa tangan hangat menghapus anak sungai yang tercipta.

“Aku memang bodoh. Untuk lebih memilihmu saja aku tak sanggup. Maafkan aku Na Young-ah ….” Kecupan di dahi ia rasakan lagi. Namun kini cukup lama. Setelahnya jejak langkah pelan beranjak pergi. Hingga decit pintu kembali terdengar lalu tak berbekas.

Krystal bening kembali berderaian. Rasa sesak hatinya membuncah-bahkan ketika ia tertidur.

To Be Continued..

Pembaca yang baik adalah pembaca yang meninggalkan jejak *ngilangbarengSuga wkwk

8 thoughts on “Breathe [BTS Version] Chapter 1

  1. Sebenarnya motif jungkook punya 2 istri itu apa? Dan sbnrnya siapa istri pertama jungkook? Euuhhh part.1 ajh keselnya udah gak ketulungan ><

    Jungkook tiba2 berubah setelah tau Na Young hamil…

    Btw, maaf baru mampir yah…hehe

    Liked by 1 person

Leave a comment