September [Oneshoot]

September [Oneshoot]

12068827_424268107772015_2963895494448427997_o

Title: September
Cast: Lee Donghae, Song Min Seo
Genre: Angst, AU
Length: Oneshoot
Author: Nadhea Rain
A/N: Fict ringan yang tercipta akibat kegalauan-pertengah-malam yang hampir setiap hari terulang.
WARNING: Lot of typo, diksi tanpa arah jalan pulang, tidak sesuai ekspektasi kalian

All was Song Min Seo’s POV

~~~

Story Begin..

Dingin kurasa menelusup hingga sel tulang terdalamku. Di luar salju tengah turun lebat dan aku tak beranjak dari aktivitasku memandangi titik putih sejak pertama kali mereka muncul.

Aku menghela nafas entah sudah kali ke berapa. Pandanganku kosong, aku mengetahuinya. Bahkan sebagian jiwaku tengah melayang tak tahu rimbanya. Atau mungkin saja tersesat tak menemukan jalan pulang.

Semua terasa sangat cepat. Bahkan musim gugur yang kuperkirakan masih berjalan kini telah berganti dengan musim dingin. Bicara tentang musim gugur aku makin mengingatnya. Mengingat pria yang membuatku tertahan seperti ini.

Menahanku untuk tak dapat bergerak maju. Dan justru menggali perpotongan adegan lama untuk kemudian mengulangnya lagi sendiri. Ya. Tanpa kehadiran pria itu lagi, aku bahkan merasa begitu bodoh dengan diriku sendiri.

Musim gugur di minggu terakhir bulan September lalu, hatiku tertahan dan membeku di sana.

Keadaan memaksaku menatap semuanya dari kaca mata berbeda. Bahwasanya hukum alam, setiap pertemuan pasti ada perpisahan itu memang benar adanya. Semua, bahkan aku sendiri sekarang mengalaminya. Persetan.

Aku tidak akan pernah setuju hukum tersebut hadir dan menjadi perbincangan hangat di khalayak ramai. Aku ingin menolaknya. Memalingkan wajahku dari teori gila tersebut dan berpura tak terjadi apa-apa.

Hingga kata ‘aku’ dan ‘kamu’ akan berubah kembali menjadi ‘kita’. Setidaknya hal itu lah yang dapat menghiburku. Membiarkan jiwaku terkurung dalam sikap egois menuntutnya untuk mempertahankan hubungan kami.

Semua bahkan Chan Hee sahabatku sekalipun merutuk tak setuju, menyumpahiku, mengejek, dan mencemoohiku ataupun pria itu. Ia tak pantas memilikiku, sebenarnya itu lah garis besar dari segala apa yang orang-orang cekoki padaku.

Tapi sebelah hatiku dengan amat sangat terang-terangan menolaknya.

Mereka bukan aku yang tak akan mengerti bagaimana kehadirannya menjadi ekstasi yang selalu kubutuhkan setiap saat. Mereka tidak akan pernah mengerti bagaimana rasanya tersiksa dengan segala perasaan yang kumiliki.

Ia pergi mengucapkan selamat tinggal. Mengatakan dengan mudah bahwa hubungan kami sudah terlalu membosankan. Yang kemudian berlalu meninggalkan aku yang masih terjebak dalam situasi seperti ini. Nafasku gusar.

Kugerakkan tanganku seolah menyentuh punggung tangan kekar yang melingkari tubuhku. Salah satu kebiasaan yang masih saja terpatri kuat dalam ingatanku, ia akan memelukku dari belakang dan membenamkan kepalanya pada perpotongan leherku.

Miris. Nyatanya aku hanya berteman harap, berteman bayang yang pertengah malam selalu hadir di pelupuk mataku. Terlalu dekat hingga kurasa mencekatku. Ini tidak benar. Perasaan ini, semuanya. Kau bahkan terlalu menyakitkan untuk kukenang, Lee Donghae.

Serta merta masih kuingat senyum manis terpatri jelas di wajah tampannya. Begitu menakjubkan. Hubungan kami berawal dari pertemanan biasa.

Ah, perpotongan itu muncul lagi. Memutar jauh ke masa dua tahun silam. Aku yang masih memakai seragam dinasku dan ia dengan setelan jas mahalnya. Kami berkenalan berkat ajakan makan Jong Woon, kekasih Chan Hee, yang tak kusangka berteman dekat dengannya.

Dia adalah orang yang cuek, namun jangan pernah ragukan kemampuan humornya. Lelucon demi lelucon bahkan mampu membuatku tertahan mengagumi sosoknya lebih lama. Kami bertemu pandang beberapa kali dan saling melempar senyum. Bertukar nomor ponsel lalu kemudian menaruh harap satu sama lain.

Setelahnya kami berkencan tak hanya sekali dua kali, mengenal lebih jauh layaknya pasangan muda lain yang sedang dilanda asmara. Saat itu aku merasa bodoh dengan terus merutuki jantungku yang selalu berdentum abnormal jika bersamanya. Yang bahkan itu baru terhitung sejak dua bulan pertemuan pertama kami.

Aku sedikit bergeser ke perapian. Menambah lagi beberapa batang kayu bakar kemudian berlalu mendekati jendela. Salju semakin banyak berjatuhan dan bisa kuperkirakan akan sangat-sangat dingin jika berdiri di luar hanya dengan chifon tipis yang kini memeluk tubuhku.

Dulu aku berharap kisahku berakhir seperti dongeng puteri kerajaan yang disuguhkan Disney. Atau setidaknya berakhir bahagia layaknya novel romantis kacangan yang bertumpuk dalam koleksiku. Dan aku menyesal kenapa harus berpikiran sesempit itu. Ini adalah dunia nyata, bukan dunia khayal yang kuciptakan sendiri dalam setiap tulisanku.

Segala yang kumiliki bahkan terenggut, kebahagiaanku bersamanya telah memudar. Berganti suram, kesendirian, dan mendung pekat menyelubungi hatiku saat ini. Lagi-lagi aku gagal dalam berkomitmen dan ini menyulitkanku bangkit.

Aku masih terus berusaha melihatnya sebagai orang lain yang tak kukenal seujung kuku pun. Setidaknya
usahaku membuahkan hasil untuk lebih dari dua puluh jam per hari. Namun di saat seperti ini, di pertengahan malam, melodi-melodi tentangnya yang sejujurnya memang bukan orang asing untukku terus saja terngiang. Menimbulkan sesak yang tak bisa kukatakan biasa.

Bukankah sungguh tersiksa ketika kau harus berpura tak mengenal seorang yang bahkan menciptakan warna untuk hidupmu?

Aku mencari arti, mencari tahu tafsir kata ‘Kita Berakhir Sampai Disini’ tapi ia terlalu cepat pergi bersama orang lain, melanjutkan hidupnya. Sementara aku masih terpaku pada titik yang sama. Titik rendah kehidupan yang bahkan tak kuketahui akan jauh lebih dalam dibandingkan luka-lukaku sebelumnya.

Aku masih ingin bersamanya. Berjalan beriringan dengannya, bertukar pikiran, merajut asa dengan bayang-bayang sempurna rencana hidup kami ke depan. Dan sampai sekarang aku masih tak mempercayai semua kata-katanya yang menusuk bagai pedang tajam mengoyak seluruh isi perutku.

Akhir September ia datang lagi padaku, lengkap dengan segaris senyum melekuk dari bibirnya. Mentraktirku makan siang dengan dalih ia tengah memenangkan lotre. Aku tak percaya karena yang kutahu ia tak pernah suka bertaruhan konyol seperti teman-temannya yang lain.

Aku menerima ajakannya dengan biasa saja. Maksudku, aku tidak terlalu antusias karena setengah diriku membenarkan posisi bahwa kami sudah benar-benar tak memiliki perasaan apapun.

Ia menjemputku seperti biasa, mengatakan jangan pernah menempati posisi jok belakang karena sama sekali ia tidak pernah berniat menjadi supir mantan kekasihnya. Mungkin bagi sebagian orang itu guyonan terlucu yang pernah kalian dengar, tapi untukku -yang sudah terlalu sering mendengarnya, itu tidak menghibur. Sama sekali.

“Aku ingin bertanya pendapatmu” ia berujar. Ini adalah kata-kata serius pertama yang kudapat setelah acara pengakhiran hubungan kami.

Alisku bertaut, keningku sedikit mengerut karenanya. Aku hanya mengangguk mengiyakan tanpa beralih pandang pada mata cokelat sayu yang kini penuh keseriusan.

Ia menggaruk tengkuknya yang kuyakini tak terasa gatal. “Yoo So Yun sahabatmu memintaku untuk jadi kekasihnya”

Tubuhku terhenyak -sedikit dan kuharap itu tak mengejutkannya. Aku memotong steak, melumurinya dengan saus. “Kuharap kau tidak mau” kulahap potongan cukup besar itu. Yeah, aku memang egois dan kuakui ia lah orang pertama yang dapat membuatku segila ini.

“Terlambat. Aku sudah menerimanya” fokusnya tak beralih mengintimidasi mata hazelku. Garpu yang kupegang terlepas dengan sangat tidak etis lalu berdenting nyaring.

Inner menguasaiku sekarang. Menyumpah serapahi tindakan bodoh yang ia lakukan.

‘Lalu untuk apa kau meminta pendapat padaku jika kau sudah memutuskannya sendiri?’ -ingin sekali kuteriakkan keluhanku sekencang-kencangnya. Tapi sisi rasionalku dengan cepat menenangkanku. “Hmm begitu. Dia jauh lebih membutuhkanmu daripada aku”

Air bening menetes dari sudut mataku. Aku sudah tersentak kembali ke dunia nyata. Ini sudah hampir tiga bulan semenjak hal itu berlangsung. Dan aku akan merasa bodoh jika terus mengharapkannya.

Kulitku jadi semakin dingin dan aku sadar ruam kemerahan telah muncul di beberapa titik. Aku hanya berharap tidak terkena hipotermia karena perapian sama sekali tak bekerja untuk menghangatkanku. Pandangan kosong kualihkan ke termometer suhu yang tergantung di ruang keluarga, firasatku benar. Suhu sudah turun beberapa derajat sementara aku masih betah dengan chifon dan celana kain pendek yang melekat di tubuhku.

Kugeser kursi untuk kemudian mendudukinya. Aku benar-benar tak mengerti apa yang baru saja kurenungkan. Kukenang kembali sebagai bentuk gagal bangkit dari sosok yang terlalu sempurna di mataku.

Aku tak pernah sadar akan adanya jurang pemisah luas dan dalam yang melingkupi kami. Juga perempatan jalan yang memotong langkah beriringan kami untuk kemudian menjauh. Jalan yang ia pilih berbeda denganku, dan seharusnya aku menyadari itu.

Sisi rasionalku bahkan telah menguap ke luar jendela. Berganti sisi burukku, yang menginginkan Donghae lebih dari apapun, menyeruak bangkit dari tidur panjangnya. Nafasku tercekat di kerongkongan. Dadaku bahkan bagai terhimpit hingga sesak membuncah.

Aku mencoba menenangkan diri dengan menarik nafas sedalam mungkin, terburu-buru mengeluarkannya. Namun otakku tak sejalan, ia terus saja memproduksi ingatan, kepingan, memori, maupun perpotongan tentang Donghae. Memutarnya seperti menekan tombol repeat dan tak pernah mengijinkanku untuk berhenti.

Aku mengerang frustasi. Menarik sendiri rambutku hingga kusut berusaha menghentikan laju otakku yang memang kelewatan. Semakin lama semakin sesak. Genangan krystal bening yang berusaha kutahan kini meluncur bebas. Membentuk dua aliran sungai kecil di sana.

Kacau. Efek yang ia timbulkan bahkan jauh lebih tidak rasional dari apa yang kupikirkan. Dan aku percaya jika Chan Hee atau siapapun yang melihatku dalam keadaan seperti ini, mereka tidak akan segan memberiku banyak petuah. -dan cemoohan juga makian tentu saja.

Aku kembali memukul dadaku. Rasanya sakit di bagian itu. Bagian yang sekarang berdetak abnormal. Kuharap aku tak melukai jantungku karena memaksanya bekerja sekeras ini.

Salju masih turun begitu pula dengan derasnya air mata sialanku. Bodoh. Haruskah aku meneriaki kalimat itu berulang kali? Aku benar-benar terlihat rapuh sekarang.

Denting piano lembut meraung meminta perhatianku. Ponsel pipihku berada tak jauh dari kursi -aku menggapainya. Pesanku satu setengah jam lalu baru saja ia balas. Ya. Dan kuulangi, betapa bodohnya aku masih mengirimi pesan pada pria yang benar-benar ingin kulenyapkan dari hati dan pikiranku.

Jadi maksudmu apa aku tak boleh memiliki gadis lain? -Donghae

Aku mendengus gusar membaca awal pesanku untuknya. Aku benar-benar egois masih mengharapkan janji palsu itu. Semua pria di dunia ini sama; tak pernah ada yang serius dengan janjinya. Dan aku begitu idiot untuk berlaku layaknya anak kecil yang mempercayai segala omongannya.

Maaf, aku terlalu egois. Abaikan pesanku tadi -Min Seo

Setelah muncul laporan terkirim segera kubanting benda pipih itu ke dinding. Aku benar-benar tak membutuhkannya sekarang.

Kutangkup wajahku meredam tangis. Tapi yang ada, nada-nada pilu bahkan bergema memenuhi ruangan yang kutempati. Aku memang jahat, naif dan egois untuknya. Setidaknya itu lah yang mampu kubaca dari cara pandangku jika aku jadi dirinya.

Tapi apakah tak ada seorangpun di dunia ini yang ingin mencoba berada pada sisiku? Menilik apa yang sebenarnya terjadi denganku dan kemudian menyimpulkan satu gagasan? Bukankah aku dan dia sama-sama terluka dan melukai? Sejujurnya ini mudah jika kami tidak sama-sama keras kepala.

Aku makin tergugu. Kurasa isakanku bisa terdengar sampai ke luar rumah. Satu yang kuharap semoga tetanggaku tak menelepon polisi ataupun ambulance karena mengganggap di rumahku tengah terjadi penyatronan maling.

Kepingan lain muncul lagi. Di bulan Juli, aku benar-benar ingat hari itu. Busanaku berganti dengan gaun pendek tanpa lengan serta sweater kecil membungkus bahuku. Taman dengan aku bermain di ayunan dan ia masih dengan scrubnya yang sudah dilipat setengah lengan. Ia mendorong ayunanku dalam tempo sedang.

Angin mempermainkan surai hitamku, membuatnya berkibar bebas di udara. Aku berlengkung manis, jarang ia ada waktu menemaniku santai seperti ini. Dan kuakui mungkin sekarang aku tengah menculiknya di tengah jam jaganya. Semoga pihak Asan Medical Center tak mengetahui salah satu dokternya tengah kusiksa.

“Kau tahu, hal terakhir yang kuinginkan dalam hidupku adalah bisa bersamamu sedekat ini” aku berbicara pelan memalingkan sedikit wajahku. Mata cokelatnya ikut tersenyum menanggapi celotehanku.

Ia menghentikan laju ayunanku perlahan. Mengitarinya kemudian berjongkok di depanku dengan tangan besarnya meraup tanganku. Kurasa dia perlu kuda putih dan baju khas pangeran untuk melengkapi suasana. “Ya. Begitu pula denganku. Tak ada wanita lain yang dapat menggantikan posisimu di sini” ia menuntun tanganku menyentuh bagian jantungnya. Dapat kurasakan debaran kencangnya yang menjalar bagai aliran listrik ke tubuhku. “Aku berjanji” tutupnya seraya menciumi punggung tanganku.

Aku merasa seperti Cinderella yang menerima ajakan berdansa oleh seorang pangeran tampan. Perutku berpilin. Jutaan kupu-kupu meledak dari sana. Membuat senyum tak pernah luntur sedikitpun dari bibir tipisku.

Ia telah mengacaukanku sekarang. Bahkan aku sudah benar-benar tak bisa mengendalikan diriku. Kau siapa? Siapa yang memulai memikirkan hal ini lagi?

Masih dalam tangis aku melangkah gontai. Seluruh perhatianku kosong saat kakiku menjajaki satu per satu anak tangga. Kupegang sisi tangga berharap bisa menyeimbangkan bobot tubuhku hingga aku tak perlu limbung dan berakhir mengenaskan.

Aku belum berpikir untuk itu sekarang. Setidaknya sisi rasionalku sedikit muncul. Segera kuputar kenop lalu menelusup lagi ke dalam. Pintu kedua, kamar mandi pribadiku sudah kubuka.

Aku menyalakan kran ke bathtub mengisinya penuh. Menambah sabun beraroma lily ke dalamnya. Tanganku sedikit tersentak merasakan betapa dinginnya air yang kualirkan.

Kuceburkan diriku tak peduli seberapa dingin air yang kugunakan sekarang, -aku tak berniat melucuti pakaianku terlebih dahulu. Erangan panjang lolos dari bibirku. Hanya butuh waktu beberapa detik untukku tenggelam dan sensasi dinginnya telah menyebar ke seluruh tubuhku.

Isakanku masih terus menggema namun teredam dengan suara kucuran air dari kran yang masih kubiarkan menyala. Aku tak ingin mati konyol jadi jika ada polisi atau siapa saja yang mencariku akan langsung tahu dengan isyarat ini. Bagus. Sisi rasionalku setidaknya tidak ikut tenggelam.

Lama aku dalam posisi seperti ini. Menenggelamkan kepalaku ke air lalu mengangkatnya lagi. Krystal beningku telah tercampur dengan air dingin beraroma lily. Tanganku pucat dan kurasakan bibirku bergetar. Aku benar-benar akan mengalami hipotermia sekarang.

Samar kudengar derap langkah menaiki tangga kayu. Pintuku terbuka dan jujur aku tak ingat belum menutupnya. Semakin lama telingaku semakin jelas menangkapnya. Kaki-kaki yang melangkah itu terdengar tergesa. Kesadaranku mulai menurun dan aku merintih.

Dingin, sakit. Tapi tubuhku tak bekerja untuk sekedar melompat turun. Batinku teriris. Bagaimana bisa aku jadi sekacau ini hanya karena seorang pria yang telah berjalan ke depan meninggalkanku?

“Min Seo? Katakan apapun, di mana kau?” suara baritone menggema. Satu yang kutahu orang itu masih berada di luar kamar.

Aku ingin berteriak tapi kerongkonganku tak sejalan. Suaraku habis karena air mata sialan itu.

Kran masih menyala dan seluruh kamar mandiku telah tergenang air. Bahkan mungkin sudah meluber keluar hingga pintu kamarku. Derap langkah kudengar kembali semakin dekat. Langkah kaki itu dipaksa lebih cepat di atas air. Tuhan masih menginginkanku hidup.

“Astaga Min Seo..” pria itu menghambur mematikan kranku. Mengangkat tubuhku yang mungkin sudah membeku ke atas ranjang.

Ia membungkusku dengan selimut tebal segera setelah pakaianku berganti baru. Memilin rambut basahku kemudian mengambil satu lagi handuk kering. Menggosok rambutku.

Nafasnya gusar saat meraih remote penghangat ruangan. Tubuhku masih menggigil dan mungkin lebih parah lagi karena aku masih menangis. Ia melompat ke arahku, mengungkungku dalam pelukan hangatnya. Nafasnya panas karena tegang tapi aku sama sekali tak bisa menghentikan tangisku.

“Sshh.. Kumohon berhentilah menangis. Aku ada di sini sekarang” ia mengecup keningku. Aku tahu ini salah. Benar-benar salah.

“Aku terkejut perapian menyala dengan api besar, kuharap kau tak berniat membakar rumah kita sayang. Lalu pikiranku tertuju padamu, dan.. Ya Tuhan apa yang kau pikirkan hmm?” ia terus berbicara dan mengecupi pipiku.

Membuatku semakin sesak dan menyalahkan diriku sendiri. Bagaimana jika ia tak segera datang? Apa aku benar-benar akan mati konyol? Air mata kembali meleleh di kedua pipiku. Semakin deras mengalir.

“Maafkan aku sayang maafkan aku”

Tidak. Harusnya aku yang meminta maaf bukan kau. Aku membuka mulutku namun sama sekali tak ada suara yang keluar dari sana. Ia kembali mengecupku kali ini tepat di bibirku. Kumohon Tuhan, jangan pernah biarkan aku membayangkan kecupan ini berasal dari Donghae.

Ia menyudahi kecupannya dan menangkup wajahku. Jelaganya begitu sayu menatapku. Kulihat beberapa bulir air bening menetes dari sudut mata sipitnya. Ia menggigit sendiri bibir penuhnya.

“Maafkan aku memaksamu menerimaku sementara perasaanmu masih tercurah untuknya. Maafkan aku Kim Min Seo”

Kau tidak bersalah sungguh. Aku lah yang patut kau salahkan. Karena aku masih memikirkan pria lain dan hampir membuatku meregang nyawa secara tidak masuk akal sekarang. Kau patut menghukumku, yang dengan egoisnya tak pernah mengerti jalan egoku seperti apa. Mengharuskanku seperti orang bodoh yang masih terjebak kegagalan cinta berbulan-bulan lalu.

Karena aku bukan lagi Song Min Seo, aku adalah istrimu Kim Seok Jin.. Aku adalah Kim Min Seo yang dengan sadar masih memikirkan pria lain. Dan itu bukan kau.

Ia menatapku sekali lagi sebelum membenamkan kepalaku ke dadanya. Aku kembali terisak dalam..

Aku lah yang harusnya kau salahkan. Bukan dirimu.. Maafkan aku..

-FIN-

Pembaca Yang Baik Adalah Pembaca Yang Meninggalkan Jejak *ngilangbarengDonghae wkwk

Leave a comment