Le Destin de L’Amour Chapter 1

Le Destin de L’Amour Chapter 1

image

Title: Le Destin de L’amour
Cast: Min Yoon Gi, Ryu Ye Rin
Genre: Fantasy, Angst, AU
Length: Chaptered
Disclaimer: Mengambil ide Novel Cinta Peri Danau Teratai karya Yennie Hardiwidjaja, namun kami menjelaskan dengan bahasa kami sendiri tanpa mengambil sedikitpun penjelasan di sana 😉

Standart Warning Applied

Nadhea Rain & Cho Minna Present

Chapter 1

~~~

Story Begin..

Lazuardi terselimut biru cerah, dengan sedikit noda putih menggelayut di kaki-kakinya. Segaris tipis awan menyeringai cantik. Menjadi payung di antara bias cahaya matahari yang kian menusuk. Rimbun tanaman membisik merdu. Melantun nyanyian alam yang jadi puja tiap-tiap makhluk hidup yang mampu mendengar bisikan mereka. Ranting-ranting saling bergesek menyapa mereka yang datang dengan salam senyum hangat.

Danau beriak kecil saat serangga berlompatan hendak mengadu cepat, membuat air tenang sedikit goyah. Tercipta lingkar-lingkar bekas refleksi kaki-kaki mungil mereka.

Teratai-teratai perak turut serta bergoyang. Tersentuh kejahilan makhluk renik yang kini mengumbar tawa. Berceloteh ria tentang kisah-kisah mereka.

Angin mulai menuaikan tugasnya membisikan nada-nada yang lebih indah dari untaian not balok yang manusia kenal selama ini. Membawa sebuah lagu alam penenang hati.

Seberapa besar kekuatannya? Bagaimana cara merasakannya?

.
.
.

Kehidupan peri-peri cantik dengan sayap yang menghiasi punggung mereka begitu indah. Memiliki tubuh sama dengan manusia, bedanya ada sepasang sayap putih kecil terletak di kedua sisi punggungnya. Mereka tidak sama satu sama lain. Semuanya memiliki perbedaan. Layaknya manusia yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya.

Surya masih dengan semangatnya memancarkan sinar. Angin yang terus berhembus perlahan melengkapi hari. Serta teratai bermekaran dengan indah.

Ye Rin-sang peri-duduk tenang di atas batu tengah danau, sesekali memejamkan mata merasakan kelembutan angin yang menerpa. Tubuh cantik dengan sayap indah menghiasi punggungnya diciptakan dengan kesempurnaan luar biasa. Tangan dengan jemari lentik juga ia miliki. Tubuh ramping dengan tinggi semampai serta surai hitam panjang berkilau bak selembut sutera.

Kulit putih nan halus. Mata indah dengan pancar ketulusan di setiap tatapannya. Hidung mancung, pipi tirus, juga bibir berwarna peach alami tanpa sentuhan apapun. Sungguh ciptaan Tuhan yang mendekati sempurna.

Ia memang selalu menghabiskan waktu dengan duduk malas di atas batu tengah danau. Sesekali matanya mengitar, melihat manusia berlalu lalang tak jauh di hadapannya. Manusia yang saling menautkan tangan, berlari atau berjalan bersama anak kecil, maupun orang-orang yang mengambil bunga di tepian danau.

Memejamkan mata, kedua tangan ia gunakan menyangga tubuhnya. Membiarkan sinar hangat surya mengenai tubuh ramping itu. Cahaya muncul di sekeliling tubuhnya, surai lembut yang ia miliki laksana menari saat hembus angin mencoba mengajaknya bicara. Ia adalah pengagum angin. Dan sebuah kelebihan lain, ia mampu berbicara dengan benda kasat mata itu.

Ia mengerjap beberapa kali. Melihat wanita paruh baya mengambil beberapa tangkai bunga dengan bakulnya, menyusun dan menjualnya pada orang-orang yang ada di sana. Ia sudah terlalu sering melihat wanita tua itu mengambil bunga.

‘Mataku tak pernah beralih pandang mengamati setiap gerak-gerik makhluk yang dinamakan manusia. Namaku Ye Rin, Aku tinggal di antara air tenang bertabur bunga teratai suci.

Umurku 100 tahun, dan aku sangat menyukai angin. Angin mampu membawaku pada pilihan tepat. Ia selalu memberiku kenyamanan di setiap hembusannya. Angin selalu ada untukku di manapun dan kapanpun, karena itu aku sangat menyukainya.- La Destin de L’amour’

Teratai atau Nymphaea telah lama dianggap sebagai bunga suci. Coba saja lihat patung-patung keagamaan umat Budha, kehadiran ukiran atau unsur teratai cukup signifikan. Bunga teratai sendiri merupakan kerabat lotus dan dikenal
dengan nama waterlily di Inggris.

Bunga yang satu ini tumbuh subur di atas permukaan air tenang. Bagian daun juga bunganya mengapung di atas permukaan sedangkan tangkai rhizomanya berada di dalam dasar kolam berlumpur, rawa atau sungai. Tangkai bunga teratai terdapat di tengah bagian daun. Sedangkan daunnya sendiri berbentuk bundar dengan warna hijau yang tampak dilapisi lilin sehingga air yang jatuh tak akan membentuk butiran. Bunga teratai terdiri atas kurang lebih 50 spesies yang tersebar pertumbuhannya secara merata di negara tropis hingga
subtropis di seluruh dunia.

***

Mata indah berbingkai bulu mata lentik masih menelisik di balik sinar bulan. Masih sibuk dengan dunia fantasi yang liar tercipta di pikirannya.

‘-Semenyenangkan apa menjadi manusia?
Bagaimana cara bahagia?
Atau bagaimana rasanya mencintai?’ Pertanyaan-pertanyaan kecil yang tersimpan manis di alam pikirnya.

Angin mulai menari-nari di sekitar Ye Rin. Rambutnya yang tergerai indah sedikit bergoyang. Dipermainkan bayu yang malam ini sedikit nakal, membuatnya cukup kusut -meski nyatanya tak pernah terjadi.

Kelopak matanya terpejam, memulai imajinasi yang siap berlalu lalang menunggu tubuh kecilnya. Namun sayang seribu sayang, saat mata sudah terpejam dan imajinasi hampir mencuri garis start, gerakan halus mendekat kearahnya. Ia yang terganggu sedikit menoleh ke sumber suara.

‘Siapa dia? Kenapa di waktu seperti ini masih saja ada manusia yang datang?’ batin Ye Rin masih terfokus pada objek pengamatannya.

Seketika mata onyx itu melebar menatap apa yang terjadi di hadapannya.

Tuhan..

***

Gangnam Street

‘Angin mengingatkanku pada masa suram di kehidupanku. Dingin mencekam dan sangat mengerikan. Haruskah aku mengingatnya? Seperti yang orang-orang katakan tentang kehidupan sebelum aku mengerti bagaimana cara berpikir.

‘-Percayalah bahwa kau tak lebih dari seorang bayi tak berdosa yang sengaja dititipkan ibumu di depan pintu rumah orang dan mengharapkan kasih sayang untuk menghidupimu.’

Kata-kata itu berputar di kepalaku bagaikan sebuah mimpi buruk. Mimpi yang bahkan tak kunjung jua selesai dalam lini masa singkat.

-Dititipkan? -Tch! Hingga umurku menginjak belasan tahun tak ada seorangpun yang mengakui atau mencariku. Tidak ada sama sekali.

Banyak yang ingin mengadopsiku-jangan tanya sudah puluhan pasang datang padaku-tapi maaf, aku tidak ingin hidup bersama orang yang tidak kukenal. Jadi aku lebih memilih tetap tinggal di tempatku dibesarkan sampai suatu hari nanti kuputuskan untuk meninggalkannya
Memilih hidup mandiri bermodal kecerdasan yang kumiliki. Aku bersyukur setidaknya orang yang disebut orang tuaku masih meninggalkan kecerdasan lebih-yang mampu memikirkan hal-hal jauh di atas usiaku. Jika boleh memilih aku tidak akan memilih kehidupan ini.

-Min Yoon Gi

Ketika cahaya itu datang..

***

“Yaa! Apa yang kau lakukan!” Yoon Gi meronta di bawah kungkungan ketiga pria berbadan gempal. Ia baru saja berjalan tenang lalu tiba-tiba di ujung gang tiga bocah seumuran dengannya mencekal pergerakannya. Apa sebenarnya yang mereka inginkan? Ia sendiri tidak tahu. Otaknya masih mencoba berpikir tentang apa yang membuatnya terlihat menyedihkan sebelum suara terdengar memenuhi gendang telinganya. Park Ji Min muncul dengan seringai permanen menghias bibirnya.

“Tenanglah Min Yoon Gi. Aku hanya sedikit bermain-main. Bukankah kau bisa berpikir dengan otak pintar di atas rata-ratamu tentang apa yang dilakukan seseorang kepada musuhnya?” Ji Min memainkan telunjuknya di wajah Yoon Gi. Menyeringai tajam penuh misteri seakan mendapat mangsa baru.

“Kau!” Yoon Gi menggeram menahan amarah. Jelas api berkobar memadati mata hitam kelamnya. Ini kekerasan -saat dengan sengaja tiga bocah gempal mengunci pergerakannya sekuat tenaga-. Bahkan Yoon Gi yakin mungkin saja tubuhnya akan segera remuk redam.

Ia tidaklah sekuat pria dewasa yang ahli bela diri. Maka dari itu ia hanya diam, percuma berontak, pikirnya. Diam-diam ia mengutuk dirinya berkali-kali. Kenapa otak jeniusnya tak berpikir untuk belajar ilmu bela diri jika tahu hidupnya terus terancam seperti saat ini.

Sesekali Yoon Gi mencoba meronta, berharap apa yang ia lakukan memberi efek melawan bagi ketiganya. Tapi sia-sia saja. Tiga orang yang memegangnya, juga Ji Min, 4 : 1 bukankah sangat jauh jika dikatakan seimbang?

Ia hanya terus mengumpat, menumpahkan sumpah serapah pada orang-orang yang berada di dekatnya. Tak peduli etikad kurang baik melekat pada dirinya setelah ini. Ia hanya ingin membela diri. Yoon Gi geram, sungguh, namun apa daya. Dirinya hanya sama saja mencari mati jika terus memberontak.

“Berhenti mengumpat Min Yoon Gi!”Ji Min mengambil satu langkah lebih dekat. ‘Kau adalah kuman masyarakat yang bisanya hanya menyusahkan orang! Kau terlalu berbakat untuk hidup Min Yoon Gi! Keberadaanmu membuatku benar-benar terlihat sangat bodoh. Kau tahu, aku tidak akan membiarkanmu berada di sini atau mungkin di dunia ini. Aku muak denganmu!’ Ji Min tersenyum merendahkan menatap Yoon Gi. Ingin sekali ia memuntahkan segala yang ia rasakan pada pria di hadapannya, namun entah kenapa justru ia memilih memendamnya.

“Kau harus tahu seperti apa kehidupan yang sebenarnya Min Yoon Gi. Apa kau lupa jika kehadiranmu meresahkanku? Bisakah kau berpikir? Kau tidak lebih dari SAMPAH! DAN AKU MEMBENCIMU!” Ji Min meneriakinya. Mata hitamnya menelisik jahat penuh emosi.

Ji Min mengambil benda mengkilat dari balik saku jaketnya. Memamerkan seringai tajam, membelai ujung lancip belati lipat yang sudah mengacung sempurna. Satu hentakan membuat Yoon Gi seketika meringis. Sakit dengan cepat menjalar di sekitar perutnya. Benda lancip dengan panjang lima belas senti meter bersarang di sana, dengan Ji Min sebagai pelakunya yang sekarang mengumbar tawa.

Ia masih tak percaya hal seburuk ini terjadi di kehidupannya. Sudah cukup orangtuanya yang tanpa hati membuang dirinya. Dan sekarang ia harus menerima kenyataan bahwa banyak orang yang tak menyukainya.

‘Terkutuklah kau Min Yoon Gi.’

Yoon Gi menatap Ji Min seolah mengisyarat-kau akan mati. Ia masih meringis ketika satu hentakan lagi menelusup, mengoyak perutnya.

“Brengsek!” Yoon Gi mengumpat dengan nada dingin. Mati-matian menahan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.

Ji Min masih menyeringai tajam. Mencekal dagu Yoon Gi, membawanya dalam tatap kelam yang ia miliki “Senang sekali bermain denganmu Min Yoon Gi. Kurasa sudah cukup hari ini. Ah ya. Kau tak lupa jalan pulang kan?” ia berujar dengan intonasi datar, tak menghiraukan apa yang telah ia perbuat. Menyiksa Yoon Gi merupakan hal paling menyenangkan jika dibandingkan bullyan yang ia lakukan pada murid-murid culun di sekolahnya.

Yoon Gi berteriak cukup kencang. Satu tarikan memberikan efek lebih perut sebelah kanannya. Pisau lipat berhasil pria di hadapannya keluarkan. Ji Min bahkan dengan santainya membersihkan sisa darah di pisau itu dengan sapu tangan yang ia peroleh dari saku celananya.

“BAJINGAN KAU PARK JI MIN!!” Yoon Gi jatuh tersungkur ketika tiga teman Ji Min melapaskannya.

“Selamat malam Min Yoon Gi nikmati sisa malam indahmu” Ji Min berlalu meninggalkan Yoon Gi dengan senyum kemenangan. Melenggang di urutan paling depan disusul ketiga temannya yang juga memasang senyum telak.

‘-Tidak akan ada lagi Min Yoon Gi. Tak akan ada lagi yang menganggu hari-hariku.’ Gumam Ji Min disertai kepuasan mendalam. Ia menghilang di balik tembok besar yang memisahkan jalan menjadi empat bagian itu.

Yoon Gi memegangi perutnya yang mengeluarkan darah. Bau anyir bercampur oksigen menyeruak indera penciumannya. Cairan kental dengan warna merah pekat merembes dari balik celah jemarinya.

Jangan lagi bertanya bagaimana sensasi yang melingkupi dirinya. Ia bahkan tak mampu bernafas normal-tersendat menahan sakit yang kini telah menjalar ke seluruh bagian sel dalam tubuhnya. Berjalan tertatih, ia berharap seseorang bisa memberinya pertolongan.

Yoon Gi mencoba terus menapak, tak peduli kemana kakinya menjajaki langkah. Ia ingin mencari seseorang, atau jika bisa sebuah klinik. Apapun agar luka dalam yang ia peroleh bisa lekas diobati.

Ia mendesis. Perih menjalar dari tiap-tiap bekas yang beberapa saat lalu tertancap belati. Ia merutuk dirinya sendiri karena tidak bisa melawan. Rasa sakit bertambah kuat merasuk tubuhnya.

Bagaikan terdampar di padang pasir tanpa sejumput oasis. Tenggorokannya kering, bahkan salivapun serasa tak ia punyai. Yoon Gi membutuhkan air. Sekedar agar mampu bertahan beberapa jam lagi sampai menemukan seseorang yang sudi menolongnya.

Matanya menajam. Menyala gembira bagai sebuah euforia meletup meski rasa sakit tetap mendominasinya. Ia menemukan sebuah danau di seberang jalan tak jauh dari tempatnya berdiri. Tanpa berpikir panjang ia bergegas mendekat, meniti langkahnya yang terseok-seok.

Malam begitu dingin, menusuk hingga ke tulang-tulang terdalamnya. Sesekali ia merintih kesakitan, tak pernah sedikitpun tangan terlepas dari perut bagian kanannya. Darah masih merembes membentuk sebuah aliran kecil di antara celah-celah jemari.

Danau teratai di depan matanya bagaikan sebuah sumber air di tengah kekeringan yang melanda. Sekuat tenaga ia mencoba bertahan hingga detik di mana kakinya mencapai bibir danau.

Yoon Gi tahu dirinya bukanlah pemuda kuat seperti halnya film-film Rambo yang sering ia kagumi. Ia hanya pemuda biasa yang memiliki nasib buruk saat ini.  Pria yang hampir sekarat di waktu sepertiga malam akan berakhir. Bukan hampir lagi, tapi memang akan sekarat saat ini juga.

Kaki-kakinya bergetar oleng. Sudah tak mampu lagi menyangga berat tubuhnya. Darah yang sedari tadi mengalir kini menunjukkan intensitas mengering. Berapa lama lagi ia bisa bertahan?

Ia berusaha. Masih berusaha sekuat mungkin untuk meraih tetes air dengan tangannya yang bergetar. Tersengal nafasnya tak beraturan. Belum sampai tangan putih dengan sedikit air mencapai mulutnya, ia sudah terguling tak berdaya.

Tak ada siapapun di sana. Tak ada yang ingin atau dengan senang hati menolongnya.

Ketika cahaya itu datang..

To Be Continued..

Pembaca yang Baik adalah Pembaca yang Meninggalkan Jejak *ngilangbarengSuga wkwk

Posted from WordPress for Android

Leave a comment