Breathe [BTS Version] Chapter 2

Breathe [BTS Version] Chapter 2

image

Title: Breathe
Cast: Jeon Jung Kook, Im Na Young, Han Sa Na
Genre: Marriage Life, Angst, Kekerasan, Romance, AU
Length: Chaptered
Cover by: Nadhea Rain Art
WARNING: Mengandung kekerasan dan bumbu ‘Marriage Life’ lain disarankan untuk yang tidak kuat harap klik tombol BACK, lot of typo, diksi tanpa arah jalan pulang, tidak sesuai ekspektasi kalian saya tidak bertanggungjawab/? *loh

Copyright 2016 Nadhea Rain

“Berikan sedikit ruang untukku bernafas, karena bahkan oksigen berbentuk dirimu malah semakin membuatku sesak.”

Chapter 2

~~~

Story Begin..

Sinar surya menelusup tirai setengah terbuka. Menggelitik indera memaksa menyudahi tidur tak terlalu nyenyak Na Young. Matanya mengerjap beberapa kali menyesuaikan cahaya yang baru saja diterima saraf-sarafnya.

Pria putih bersurai cokelat tua menyapanya dengan lengkung manis. Duduk bersandar kursi bersebelahan bangsal Na Young. Kemeja dan jasnya sudah rapi-yang Na Young yakini pasti pria ini hanya sekadar mampir berkunjung sebelum bekerja.

“Bagaimana kondisimu?” tanya Tae Hyung-pria tadi-masih dengan sebentuk bulan sabit manis di bibir penuhnya. Mengamati gerak-gerik Na Young yang terasa begitu manis. Membenarkan posisi tidur, menyingkap sedikit selimut untuk membebaskan tangannya yang berkeringat, bahkan seutas senyum kecil terekam jelas dalam ingatan Tae Hyung.

Na Young mengangguk pelan. Masih merasa canggung dengan si penyelamat. Ujung bibirnya ia gigiti kecil-kecil. “Sudah lebih baik. Terima kasih telah mengantarku ke rumah sakit.”

“Bukan masalah,” Tae Hyung mengedarkan bola matanya. Menjelajahi setiap sudut ruangan, termasuk vas bunga mawar putih yang masih sama keadaannya seusai ia tinggal kemarin. Pandangannya kembali beralih pada Na Young. “Apa Jung Kook belum mengunjungimu?” Cukup pelan Tae Hyung berujar, ia tahu, sangat tahu wanita di hadapannya sesungguhnya tak lebih dari telur di ujung tanduk. Sangat rentan.

“Profesor Ki Hoon mengatakan padaku jika Jung Kook berhasil meyakinkan semua orang yang ada di ruang rapat tentang risetnya. Beberapa hari ini ia disibukkan dengan pengisian materi di universitas. Ia sangat sibuk jadi aku benar-benar maklum,” tegas Na Young menggenggam erat selimut. Jika boleh jujur ia tidak tahu apa-apa, apakah riset Jung Kook berhasil ia juga tidak tahu persis. Semua terasa berbeda, terasa begitu abu-abu untuknya. “Semalam ia datang saat aku tertidur. Pria itu tetap saja sama, tidak mau menungguku sampai bangun karena kesibukannya. Ah. Jika ia adalah seorang artis, aku tidak yakin ia mengingatku saat jadwalnya sedang padat.” Ia tertawa hambar. Lagi-lagi senyum palsu terulas. Mengembang di bibir tipis yang masih pucat.

Bibir Tae Hyung mendadak kelu. Ragu sudah niatnya ingin bertanya lebih jauh. Penjelasan yang sangat masuk akal, sekaligus pengelakan paling sempurna menurutnya. Pria itu menghela napas sejenak. Membiarkan situasi di sana hanya diisi kebisuan.

Lama mereka terdiam, larut dalam pikiran masing-masing tanpa ada yang mencoba mengawali pembicaraan. Tae Hyung menyerah, ia mendengus gusar seraya menggumam kata maaf. Ia memaksa bibirnya berlengkung miring. Membentuk seringai kecil yang entah berarti apa.

Pandangannya pada Na Young menegas. Seolah melucuti wanita di hadapannya hanya dengan sebuah tatapan tajam. Cukup lama Na Young menunduk. Tak berani menatap langsung iris cokelat kelam yang tengah mengintimidasinya sedemikian rupa. Sungguh ia tak ingin lagi terlihat rapuh di hadapan siapapun, termasuk juga Tae Hyung rekan kerjanya sendiri.

“Apa aku benar sebenarnya kau hanya sedang mengelak?” Tae Hyung bercicit masih dengan seringai tajam. Membuat tubuh Na Young sekonyong-konyong menegang. Tak percaya teman mengajar yang cukup ia kenal bisa berkata demikian. Apakah sangat jelas terlihat jika ia tengah berbohong? Ia menelan ludah susah payah.

Perpotongan memori awal pertemuan dengan Jung Kook memutar di otak Na Young, berlanjut masa pacaran yang tak bisa dikatakan singkat. Kemudian saat pria itu melamarnya, mengenalkan pada keluarga besarnya sampai potret pernikahannya. Siluet keseharian setelah pernikahan pun terekam jelas-ia bahkan terlalu bahagia memiliki suami seperti Jung Kook.

Lalu kemudian perpotongan lain muncul. Menampilkan sosok Sa Na datang dengan tiba-tiba memeluk Jung Kook, memberi sugesti bahwa ia juga istri sah sang bungsu Jeon. Sikap prianya yang memilih bungkam, mempersilakan wanita bertubuh sintal itu masuk seenaknya dalam rumah. Selanjutnya pada acara pengusiran paksa dari kamarnya sendiri, berujung Jung Kook yang semakin hari semakin tak dapat ia terka lagi sifatnya. Dari Jung Kook yang lembut, sayu, dan penyayang berubah seratus delapan puluh derajat menjadi Jung Kook yang dingin, kerap main tangan maupun mengumpat. Lagi-lagi Na Young merasa pasokan oksigen di paru-parunya terlalu cepat habis. Begitu sesak dan tercekat.

Apakah ia mengelak? Jawabannya Ya. Tentu saja. Siapa yang bangga mengumbar aib rumah tangganya sendiri di khalayak ramai? Jika kau jadi Na Young, kurasa kau juga pasti melakukannya.

Akankah kau tahan jika suamimu memiliki istri lain dan lebih membanggakannya? Bahkan saat kau sedang mengandung, yang tentu saja kadar kesensitifanmu akan meningkat pesat. Tentu saja tidak. Tapi ia masih kuat bertahan.

“Aku bersungguh-sungguh, Tae Hyung. Terima kasih telah mengkhawatirkanku.” Cih. Terus saja bohongi dirimu Na Young, sisi kuat lain muncul dalam benaknya. Namun ia berujar mantap dengan segaris senyum manis bertengger di sana.

###

Dua hari berlalu dan Na Young sudah aktif mengajar seperti biasa. Ya meskipun Ye Rin selalu melarangnya untuk tak bekerja-dalam artian mengambil cuti lebih panjang-toh ia tak akan mendengarnya. Berada di rumah lebih lama justru semakin memperburuk keadaan psikisnya. Kurasa tanpa perlu kujabarkan kalian sudah tahu apa penyebabnya bukan?

Na Young mendengus, menimbulkan kepulan asap dari hasil respirasinya sendiri. Lagi-lagi hujan mengguyur saat sore hari seperti ini. Dengan frekuensi sama setiap harinya. Bahkan karena tergesa ia lupa jika payung setianya entah berada di mana. Setelah insiden jatuh di trotoar beberapa hari lalu ia tak menemukan sang payung tercinta. Entah ikut diurus Tae Hyung atau dibiarkan terkapar di bawa derasnya hujan ia tidak tahu.

Beberapa saat ia tertegun. Mengingat ulang bahwa Ye Rin sudah pamit pulang bersama Yoon Gi saat ia masih asyik mengoreksi hasil ujian Bahasa Inggris anak didiknya. Helaan napas kasar terdengar sekali lagi. Menerobos hujan bukan sebuah pilihan yang tepat untuk badannya yang baru saja menyecap kesembuhan.

Menelepon Tae Hyung menanyakan di mana payungnya berada cukup masuk akal, tapi lagi ia memukul dahinya sendiri. Ponsel miliknya telah kehabisan baterai dari setengah jam lalu. Sekali lagi ia mendesah kasar. Semua opsi sepertinya tak berlaku. Dan jika ia tidak lupa, berarti ia harus menunggu hingga hujan reda.

Dari kejauhan seorang berlari dengan tergesa ke arah Na Young. Tepatnya seorang wanita dengan rambut cokelat yang dibentuk curly di bagian bawah. Cukup terperanjat, wanita itu membungkuk sekilas. “Ah, Na Young kau juga berteduh?” sapanya hangat sembari mengusap lelehan air di baju dinasnya.

Na Young memberikan anggukan. Tersenyum kecil menoleh ke arah salah satu guru seni rupa di Shining Star Academy, rekan bekerjanya juga. “Ya. Kurasa hari ini aku tidak beruntung karena payungku entah berada di mana.”

“Ah begitu. Akhir-akhir ini jadi sering hujan ya. Kurasa kau harus lebih berhati-hati dengan kesehatanmu. Apa lagi kau sedang mengandung.” Wanita itu memberi senyum cerah, lesung pipi tercetak jelas di sana.

Na Young mengulas senyum. Kembali mengangguk sebagai reaksinya. Lalu selanjutnya tak ada percakapan lagi. Larut dengan pikiran masing-masing.

Pria berpostur proporsional tak lama kemudian muncul. Sosok yang acap kali Na Young hafal, Kim Seok Jin, salah satu guru vokal terbaik yang juga merupakan suami wanita di sampungnya. Seok Jin menyodorkan payung di genggamannya untuk wanita di samping Na Young. “Kau selalu lupa hal-hal kecil seperti membawa payung saat bekerja.”

Young Rin memamerkan deretan giginya. Meminta maaf dengan senyum lima jari yang entah kenapa menggelitik Na Young untuk ikut tersenyum. “Maafkan aku yang selalu membuatmu khawatir. Ah, lihatlah bajumu basah.”

Na Young mengulum senyum. Bahkan ia lupa bagaimana Jung Kook pernah memperlakukannya semanis pasangan di sampingnya. Hah. Dadanya kembali bergemuruh sesak. Mati-matian ia menahan liquid bening yang hampir merangsek keluar.

“Na Young-ah, kami duluan,” teriak Young Rin yang sudah berjalan menjauh. Ah, bahkan ia sampai lupa bahwa dirinya masih tetap berdiri di teras sekolah tanpa beranjak ke mana pun.

Cokelatnya menengadah langit. Menatap awan cukup hitam yang ia yakini masih memendam berjuta titik air yang belum bertumpah. Jika seperti ini saja, sampai kapan ia akan menunggu?

Secercah harapan muncul di hati kecilnya. Harapan yang bahkan mungkin tak akan pernah terwujud. Hari ini adalah hari peresmian toko bunga baru Sa Na, yang sangat jelas Jung Kook harus selalu berada di sana. Sangat tidak mungkin prianya akan datang menjemput. Ia mendengus keras.

Titik air berderaian makin deras, menambah sesak bersarang di hatinya terkumpul semakin banyak. Impian yang mereka rilis berdua bahkan satu persatu tanggal begitu saja. Seperti membangun usaha sendiri misalkan-Jung Kook bahkan menggarapnya bersama orang lain, bukan dirinya.

Sekali lagi Na Young mengulurkan jemari lentiknya, membiarkan tangan polosnya diserbu krystal bening yang berjatuhan. Dingin. Ia semakin merasa sendirian sekarang. Meski beberapa murid dan pengajar juga sama-sama berteduh dengannya, namun nyatanya jiwanya kosong. Sepi, sunyi menyayat-nyayat hati dan perasaannya.

Pandangan Na Young menerawang jauh, menatap orang-orang yang berjalan di trotoar. Dalam satu payung, ibu dan anak, ayah dan anak, kakak dan adik, serta pasangan-pasangan. Yah. Untuk yang terakhir tadi sepertinya cukup tak mengenakkan untuk kesehatan hati Na Young. Ia tersenyum miris mendekap tubuhnya sendiri.

“Na Young-ah!” Sosok yang sudah tak asing menghampirinya dengan tubuh separuh basah, mata teduh itu syarat akan nada khawatir. Rambut hitam miliknya sedikit basah oleh air hujan, membuat sebagian surai-surainya menutup kening pria tadi. Setumpuk map bertengger di tangan kiri sementara tangan kanannya sibuk membawa payung cukup besar.

“J-Jung Kook?” Na Young mengernyitkan dahi menatap suaminya. Kepalanya menggeleng kecil, bahkan ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Benarkah yang di hadapannya sang suami tercinta? Bukan sekadar halusinasinya semata ‘kan?

“Seharusnya kau tidak berada di sini, Sa Na membutuhkanmu,” setelah lima menit berlalu Na Young baru menanggapi. Ia meremas rok dinasnya, membuat kain halus itu berkerut-kerut.

Jung Kook menggeleng pelan, menyibak poni yang menutupi rambut hitam legamnya. “Acara pembukaannya masih satu jam lagi. Aku sudah ijin pada Sa Na untuk datang terlambat. Berkasku tertinggal di lab.”

‘Hanya satu jam ya…,’ batinnya berujar. Hati Na Young mencelos kembali. Ia kira Jung Kook menghampirinya karena khawatir, tapi nyatanya bukan seperti itu. Sesak berkumpul menekan-nekan hati. Bagai titik-titik hujan menghujam bagian rentan itu bertubi-tubi. “Aku mengerti.”

Bagai ada atmosfer lain mengelilingi mereka, keduanya sama-sama tak membuka suara. Na Young masih dengan sakit yang terasa meremas-remas ulu hati, dan Jung Kook yang entah terdiam karena apa. “Ayo pulang, tak baik wanita hamil berada di tempat seperti ini terlalu lama. Kau dan calon bayi kita bisa sakit.”

Wanita bermanik cokelat menatap tak percaya pada Jung Kook. Ia merasa ada ribuan kupu-kupu berterbangan di perutnya. Membuatnya menyukai desir hangat yang timbul- desir yang tak melukai organ pentingnya.

###

Na Young kembali terjaga. Maniknya mempertajam pengelihatannya pada jam digital yang tergeletak di meja samping ranjang. Pukul sebelas lebih tiga puluh tiga menit. Baru tiga jam kiranya ia terlelap namun matanya enggan memejam. Tidak ada morning sickness, hanya hasrat kelewat membuncah memenuh sesaki isi otaknya.

“Aku ingin makan mie dingin,” ia berujar pelan lebih tepatnya berbisik pada benda mati yang ada di sekitarnya. Beranjak menyibak tirai putih tulang, membuka satu pintu jendela membiarkan angin malam menelusup. Kakinya bergerak-gerak gelisah, membentuk ketukan kecil berirama. Ia menggigiti bibir tipisnya. Sudah terlalu larut untuk pergi keluar rumah.

Surai obsidian Na Young tertimpa angin. Membuat ujung-ujungnya sedikit berantakan. Beberapa kali ia mendekati jendela, kembali ke ranjang, mendekati jendela lagi, lalu kembali ke ranjang, begitu seterusnya. Namun apa yang ia lakukan tak jua menyurutkan hasratnya yang ingin memakan mie dingin. Ia mendesah dalam. Mungkin sebaiknya ia tak memungkiri keinginan calon bayinya sendiri.

Berbekal keyakinan dan tekat kuat, wanita cantik itu mengendap menelusup tangga setelah menyambar cardigan. Cokelatnya memutar gelisah, takut-takut Jung Kook akan mengetahui aksinya. Bergegas ia mengambil selop lalu memutar kunci cadangan yang ia bawa. Berlalu tanpa sedikitpun bekas yang mampu dicurigai suaminya.

**

“Makanlah yang banyak. Semoga calon bayimu suka,” seorang pria dengan mata yang bisa tersenyum mendekati Na Young dengan semangkuk mie dingin di tangan kanannya. Sukses membuat senyum berkembang di bibir tipis Na Young. Wanita cantik itu membungkuk singkat, menggumam terima kasih sebelum melahap mie dingin yang sudah menggugah selera makannya.

Selanjutnya hanya denting sendok beradu dengan mangkuk yang terdengar. Ho Seok, sang pemilik kedai tak beranjak. Masih tersenyum menemani pelanggan yang cukup ia kenal ini. Namun tak lama Na Young menghentikan aksi makannya. Otaknya kembali memproduksi ingatan-ingatan pahit tentang Jung Kook. Rasa dalam hatinya membuncah, tidak. Bukan ini yang ia inginkan.

Napasnya menderu gelisah. Seandainya Jung Kook yang ada di posisi Ho Seok, yang menatapnya dengan senyum tulus. Mengatakan padanya bahwa ia akan menunggu berapa porsi pun Na Young ingin makan mie dingin. Yang akan memberikan sugesti ‘Makanlah yang banyak agar calon bayi kita sehat’. Ya. Seandainya itu adalah Jung Kook, tentu ia akan sangat bahagia sekarang.

“Apa masakanku tidak enak?” Ho Seok menyadarkan lamunannya sekali lagi. Na Young menggeleng tegas. Seharusnya ia berkonsentrasi dengan makanannya bukan memikirkan hal yang tidak-tidak. Ho Seok mengerutkan dahi.

“Aku sudah tak ingin makan mie dingin. Aku tidak tahu mengidam rasanya seperti ini. Sebentar-sebentar ingin, lalu sesudahnya tidak ingin lagi.” Na Young terkekeh, membuat Ho Seok mengangguk paham.

Kembali lengkung manis disertai lesung pipi tercetak jelas di wajah porselen Ho Seok. Mengangkat tangan memanggil pekerjanya, ia berujar “Mau pulang? Biar kuantar.”

Lagi-lagi Na Young hanya mengangguk tanpa bereaksi dengan kata-kata. Seandainya Ho Seok adalah Jung Kook. Tentu ia akan merasa senang. Bahkan tak akan sungkan untuk bergelayut manja. Tapi lagi ia memang harus menyecap hampa.

Nyatanya Jung Kook tak akan pernah peduli dengan morning sickness atau acara ngidam yang Na Young alami. Jangankan peduli, mungkin saja pria itu tidak akan pernah tahu karena kesibukannya dengan istrinya yang lain.

###

Fajar menyingsing, burung-burung kecil mulai berkicau merdu. Tirai putih salju kamarnya mulai dibuka. Ia tersenyum kecil, mata cokelatnya menyapa sang mentari. Menyelipkan harap semoga hari ini berjalan lebih lancar dibanding hari kemarin.

Lima belas menit kemudian Na Young bergegas menuruni tangga, berbelok ke pantry memanggang beberapa roti. Nada-nada ceria terucap dari bibirnya. Menggumam salah satu lagu favorit yang tak luput dari playlistnya. Sepertinya hari ini calon bayi yang ada dalam perutnya lagi-lagi memberi mood baik.

Ia mengambil selai cokelat. Menyisirnya cukup tebal ke atas roti panggang yang sudah matang. Melakukannya berulang hingga tak tersisa. Menuang susu murni yang sebelumnya ia hangatkan ke dalam tiga gelas yang tersedia. Lalu dengan segera menempatkan kedua piring dan gelas ke tempat masing-masing.

Baru saja tangannya hendak terangkat mengisyarat selamat pagi pada satu-satunya pria yang ada di rumah ini, namun kenyataannya ia malah mengurungkannya. Menatap nanar dengan mata kepalanya sendiri bahwa suaminya berciuman dengan Sa Na tepat di tangga ketiga dari bawah. Perlu dicatat bahwa baru kali ini Na Young melihatnya-ia memalingkan muka. Berpura mengelap meja makan yang bahkan sebenarnya tak ada menempel debu sedikitpun. Hatinya benar-benar terasa diremukkan, dicincang dengan pisau raksasa hingga tak berbekas.

“Sarapan sudah siap sayang. Ayo kita makan,” ia mendengar Sa Na berbicara dengan nada lembut. Seolah mengejeknya yang masih menggunakan celemek motif tomat buah tersebut.

‘Harusnya aku yang berkata seperti itu. Ini masakanku bukan masakanmu!’ satu lagi sisi lain Na Young mengutuk perkataan Sa Na. Tentu hanya dalam hati, ia tidak mau ditampar untuk kedua kalinya oleh sang suami tercinta.

Jung Kook kembali menuruni tangga. Menimbulkan irama ketukan sama dari tiap-tiap langkahnya. Sedikit ia longgarkan dasinya yang terasa cukup mencekik. “Aku tidak mau memakan masakan wanita jalang sepertinya.”

Deg

Serta merta Na Young berbalik menatap jelaga berkilat Jung Kook. Berusaha mencari celah keraguan maupun jawaban dari iris kelam itu. Jalang? Apa maksud suaminya merapal kata-kata keji itu?

“Kau benar. Dia bahkan tak merasa bersalah telah melanggar peraturanmu sayang,” sebuah lengkung sinis terpetak dari bibir wanita lain di ruang ini. Aura kebencian jelas terpancar dari jelaganya yang menyirat kemenangan.

“Tunggu. Apa yang ka–”

“Keluar di atas pukul sembilan malam, pulang bersama laki-laki lain, masih menyangkal dirimu bukan jalang, Nyo.nya.Jeon?” Sa Na berujar dengan nada yang naik satu oktaf. Sengaja menekankan kata ‘nyonya Jeon’.

-bahkan Na Young tak diberi kesempatan menyelesaikan kalimatnya. Hatinya mencelos. Lagi. Ia tak dapat membendung liquid bening yang sudah bersarang di pelupuk mata.

Setelah berujar cukup keras Sa Na menggamit lengan Jung Kook. Merebahkan kepala di bahu pria tampan itu. “Lebih cepat mengusirnya akan lebih baik ‘kan sayang? Kau tidak butuh istri yang hanya bisa menangis sepertinya.” Bahkan tatapan membunuh masih tersisa di sana.

Jung Kook diam memilih menyembunyikan tangannya ke saku celana. Mengepal kuat-kuat menahan emosi. Tak jauh berbeda Na Young juga ikut diam, meremas ujung celemeknya. Lagi-lagi air bening membasahi pipi porselennya. Ia tak mampu berkata-kata. Bibirnya bergetar menahan perih.

“Kita makan di luar. Aku tidak ingin berlama-lama bersama wanita tidak tahu diri itu,” dengan dingin Jung Kook berujar. Berlalu begitu saja bersama Sa Na yang bergelayut di lengan kekarnya. Dan jangan lupakan bantingan keras pintu yang jelas terdengar sampai indera pendengaran Na Young.

Wanita cantik bermarga Jeon merosot jatuh ke lantai. Deraian air mata begitu saja merangsek keluar. Ia mencengkeram gelas berisi susu di tangan kanannya, sangat kuat. Seolah dalam pikirannya ia tengah mencekik Sa Na yang tengah merebut Jung Kook. Suami tercintanya.

Bahunya bergerak naik dan turun. Isakan yang tercipta dari bibirnya pun terdengar sangat pilu. Menyayat bagi siapa saja yang mendengarnya. Yang beruntunglah semua penghuni rumah-kecuali dirinya sudah meninggalkan mansion. Membuatnya hanya bisa mengeluh dan mengaduh dengan benda-benda mati yang ada.

**

“Guru Jeon? Anda baik-baik saja?” Na Young terkesiap mendapati panggilan tersebut. Sudah kali ke lima tepatnya ia mendapat teguran dari muridnya sendiri. Pikiran tentang kejadian tadi pagi masih membekas kuat di ingatan Na Young. Mau tidak mau membuatnya lupa berkonsentrasi penuh pada apa yang ia ajarkan.

“Ah. Aku baik-baik saja, lanjutkan membaca materi selanjutnya. Setelah itu kerjakan soal di halaman tujuh puluh enam.” Sebuah tepukan ringan tak ayal membuatnya terkejut. Ia berbalik mendapati Tae Hyung, guru piket hari ini, sudah memasang gurat manis di bibir tebalnya.

“Kau bisa ke UKS. Aku yang akan menggantikanmu mengajar,” ujarnya meletakkan dua buah buku besar ke atas meja Na Young. “Anak-anak, Guru Jeon sedang tidak enak badan karena calon bayinya rewel. Guru tampan ini akan menemani kalian belajar sekarang.”

Bahkan Na Young belum sempat berkomentar tapi Tae Hyung sudah mengambil keputusan. “Tae Hyung. Aku baik-baik saja. Jangan membebanimu. Ini tugasku.”

Tae Hyung mengangkat jari telunjuknya, menggoyang-goyangkan ke kanan ke kiri. “Tidak. Sayangnya para keturunan Kim tidak menerima penolakan dalam bentuk apa pun,” seringai kecil terbentuk di sana. Benar-benar alasan yang licik Tae Hyung. “Kau punya dua pilihan, berjalan ke UKS sendiri atau kugendong?”

Mata Na Young membulat mendengar syarat yang diajukan Tae Hyung. Hal itu sukses membuat Na Young memukulkan buku teori yang dibawanya pada bahu pria tampan itu. “Bermimpi saja bisa menggendongku, tuan maniak game!” Na Young menahan tawa. Membungkuk pada murid-muridnya kemudian berlalu.

‘Tapi setidaknya kau sudah kembali tersenyum ‘kan?’ gumam Tae Hyung menatap pundak mungil yang menjauh. “Hei sudah. Cepat kerjakan apa yang dikatakan Guru Jeon tadi.” Ia melirik tajam ke arah murid-murid Na Young yang ikut memutar kepala melihat interaksinya dengan guru cantik itu.

-Tetap saja Tae Hyung adalah seorang dengan disiplin tinggi.

**

Nyatanya Na Young tak benar-benar pergi ke UKS. Kakinya bahkan tergerak menuju tempat lain. Menaiki tangga memutar yang akan menghubungkan langsung ke atap sekolah. Ruang terdamai yang pernah ia temukan semenjak menjadi pengajar tetap di sekolah ini.

Semilir angin mempermainkan rambutnya. Perempat cakrawala terbungkus cumulus, mungkin hari ini hujan akan datang lagi. Ia membiarkan wajahnya tersapu bayu, bersama krystal bening yang tanpa ia perintah melesat keluar. Ia menangis, lagi dan lagi.

Batinnya teriris. Bagaimana bisa Jung Kook berkata sedemikian kejam tanpa mendengar alasan sesungguhnya? Hanya liquid bening yang tercipta tanpa suara. Tentu ia tidak mau didapati ingin mencoba bunuh diri ‘kan? Yang bahkan opsi tersebut tak pernah ada dalam kamus hidupnya.

Na Young berbalik menangkup wajah dengan dua tangannya. Tak mau surya gagah menertawakan air mata yang terus saja membuncah keluar. Ia memukuli dadanya sendiri pelan. Sakit. Sangat sakit terasa di bagian itu. Kembali tangannya menangkup wajah tirus itu, ia memerosotkan tubuh menyentuh lantai.

Jalang. Kata itu terus berputar di otaknya bagai kaset radio rusak. Na Young menggigiti bibirnya sendiri. Meredam suara-suara yang mungkin saja tercipta.

Dentingan piano menyita perhatian Na Young. Buru-buru ia merogoh saku, menggeser tanda hijau setelah melihat kontak si penelepon, Ye Rin.

“Kudengar UKS kehilangan satu pasien. Bersembunyi, Nyonya Jeon?” Suara di seberang telepon mengintimidasi Na Young. Terselip nada khawatir di tiap-tiap kata yang terlontar.

Na Young sedikit tercekat, buru-buru ia menelan saliva sebelum menjawab, “Aku hanya mencari angin segar. Kau tahu, rubah itu semakin hari semakin berbahaya.”

Na Young mendengar desah napas dari ujung telepon. Ia menggigiti bibirnya sendiri. Meredam sesenggukan yang mungkin mengkhawatirkan sahabat terbaiknya. “Apa lagi sekarang? Kau terlalu baik Na Young. Harusnya kau tampar saja wanita pengganggu itu.”

“Aku tidak bisa. Aku takut akulah pengganggu yang sebenarnya Ye Rin-ah kau tidak mengerti.” Suara Na Young naik beberapa oktaf, menghela napas panjang setelah ia menyelesaikan kalimat. Dan klik. Na Young mengakhiri perbincangan secara sepihak. Ia ingin sendiri. Ia butuh sendiri.

Meletakkan kepala di kedua lututnya yang menekuk, ia kembali menangis sejadinya. Mengapa takdir begitu kejam padanya? Mengapa seolah hari-harinya tak lagi memiliki ketenangan?

Selain menangis dan merenung, tidak ada lagi yang dapat ia banggakan dalam hidupnya. Bahkan jika mungkin, ia ingin lupa dengan calon manusia yang tumbuh dalam rahimnya. Tapi sejuta kali pun ia ingin melupakan, janin itu masih jua bersemayam. Tumbuh bersama luka hati yang kian menganga lebar.

***

“Apa kau benar-benar yakin menginap di rumahku?” Ye Rin merebut ransel yang dibawa Na Young. Mereka kini berada di garasi rumah Ye Rin setelah setengah jam lalu Na Young menyudahi aksi tangisnya.

Wanita bersurai obsidian mengangguk penuh. Berjalan terlebih dahulu meninggalkan sang pemilik rumah. “Ini sudah kali ke dua puluh kau menanyakannya, tambah lima kali lagi akan kuhadiahi kau gelas cantik.”

Ye Rin mematung memandang Na Young yang sudah berlalu meninggalkannya di samping mobil. Sedikit menggeleng, ia bahkan tak mengerti mengapa mengandung cepat merubah mood. Padahal satu jam sebelumnya Na Young masih memeluk Ye Rin dengan derai tangis, tapi sekarang bahkan ia mampu tersenyum seolah tak ada hal apa pun terjadi.

“Tidak adakah lelucon lain Nyonya Jeon? Kurasa kau harus lebih sering bergaul dengan tukang loper koran tampan di kompleksmu,” ujar Ye Rin dengan gelengan pelan, lebih ke teriakan karena Na Young sudah membuka gagang pintu utama. “Kukira istri yang patuh pada suami sepertimu tidak mungkin memiliki niat kabur.”

Na Young berbalik menggedikkan bahu. Senyum mengembang menghias paras ayunya yang diterpa glitter emas surya sore. “Entahlah, calon anakku yang menginginkan. Aku tidak bisa menolak.”

“Baiklah. Mari kita masuk dan memulai ritual lama kita.” Jari jempol Ye Rin terangkat. Memberikan kedipan mata pada Na Young, selanjutnya mendorong bahu sahabatnya segera masuk rumah.

Na Young terkekeh geli. Menggeleng-geleng kepala atas ulah sahabat sejak ia memakai popok itu. “Apa maksudmu kita akan menonton film konyol sepanjang malam?”

“Jika kau memaksa. Sebenarnya aku punya koleksi piringan hitam baru, kita akan bernostalgia Na Young-ah. Kauingat paman tukang kebun sekolah kita dulu ‘kan? Kau sering merepotkannya karena tidak mau dikejar kakak kelas tampan.” Tawa renyah terdengar dari bibir keduanya. Memutar memori lama yang masih membekas kuat di ingatan masing-masing.

“Haha. Kau benar. Aku pernah masuk ke tong sampahnya dan itu. Astaga. Memalukan sekali.” Na Young memegangi perutnya. Membayangkan adegan di mana ia meminta ijin salah satu tukang kebun agar bisa masuk ke tong sampah yang sedang paman itu seret hanya demi bersembunyi dari kakak kelas yang mencintainya. Sungguh masa SMA yang indah.

Tanpa sadar Ye Rin semakin terpingkal. Dua sudut matanya sudah digenangi air bening. “Aku juga. Haha. Kau harus ingat bagian Yoon Gi jadi anggota disiplin sekolah. Wajahnya benar-benar garang.”

Deraian tawa Min Seo kembali membuncah. Di kepalanya sedang memutar saat-saat mereka diberi hukuman karena rok mereka lebih lima senti dari ketentuan sekolah. “Hei bodoh. Bukankah setelah hukuman itu kau mengatakan padaku kau mengaguminya?”

“Diam haha. Dia memang memiliki pesona yang berbeda.”

###

To Be Continued..

Pembaca Yang Baik adalah pembaca yang meninggalkan jejak *ngilangbarengSuga wkwk

.
.
.

Behind The Scene

[Semua crew dan pemain sedang melakukan review Episode 1 di lokasi syuting]

Jung Kook: Kau pandai berakting menangis. Apa itu alasannya kau direkrut? (Memasang wajah serius meneliti Na Young)
Na Young: Tentu saja. (Mendekatkan diri, berbisik di telinga Jung Kook) Sebenarnya peran ini akan dipakai Ye Rin tapi kurasa, Yoon Gi terlalu dingin untuk berakting marah dan Ye Rin, dia tidak bisa menangis senatural mungkin.
Jung Kook: (mengangguk)

.
.
.

[Adegan di mana Tae Hyung menginterogasi Na Young di rumah sakit]

Tae Hyung: Apa Jung Kook hahaa belum mengunjungimu? Pfffttt (Menahan tawa karena Na Young membuat wajah konyol)
Sutradara: CUT! CUT! Ah. Kau sudah mengulangi adegan ini dua puluh kali Tae Hyung!
Tae Hyung: Na Young menggodaku pak! Aku ingin dia diganti Yi Eun saja sementa–aaww (kena lempar sepatu)

(Author mencak-mencak karena Tae Hyung kasih spoiler)

Play:
OST Breathe

7 thoughts on “Breathe [BTS Version] Chapter 2

  1. Sa Na minta dicekik rupanya ><
    Jungkook labil, terlalu mempercayai kata-kata Sa Na…dan eeuuhhh aku udah terpesona sama si Tae ^^ hihihi

    Btw, behind the scannya cukup menghibur….wkwkwk
    Satu lagi, nama Min Seo lupa diganti Na Young pas bagian mendekati TBC hehehe

    Liked by 1 person

Leave a reply to Ji-ya Cancel reply