Three Stars [Oneshoot]

Three Stars [Oneshoot]

image

Title: Three Stars
Cast: Jeon Jung Kook, Han Sa Na
Genre: Fantasy, Romance, AU
CR Pict: Nadhea Rain Art
Length: Oneshoot
A/N: Another BTS’ story for kak Dian Hanamizuki. Special thanks to Ay di fandom berbeda yang sudah mengijinkan saya mencomot sedikit ide dari Counting Starsnya yang begitu mengagumkan.

All was Han Sa Na POV

~~~

Story begin..

‘Jung Kook, apa yang kauinginkan saat ulang tahunmu?’

‘Hm. Ingatlah aku lebih awal’

.
.
.
.

Terik sinar matahari mengetuk tanpa ampun kelopak mataku yang masih enggan terbuka. Dapat kurasakan tirai yang menghias jendela kamarku perlahan memudar. Tak tersisa bagai terenggut makhluk pencuri kain tirai jendela. Jika ada.

Aku masih belum terbiasa dengan cahaya yang menembus langsung iris cokelatku. Membuatku harus mengerjap beberapa kali, mendesis seraya mengumpat kecil. Nyatanya tiraiku masih menggantung manis di sana. Dengan goyangan-goyangan semilir bayu yang terasa menggelitik.

Seingatku hari ini masih akhir pekan. Lalu untuk apa aku bangun sepagi ini setelah berkutat dengan pekerjaan rumah? Kusempatkan kepala mengamati jam dinding berwarna nude peach yang nampak kontras dengan ungu muda bermotif not balok di sekelilingnya.

Pukul 09:37 KST Faktanya sekarang memang sudah bukan pagi hari lagi Nona Han!

Melompat turun dari ranjang masih dalam keadaan shock, aku tak peduli jika penampilanku benar-benar kusut. Tidak ada yang aneh. Semua masih sama bahkan piyama hello kitty yang kukenakan juga tak berubah. Aku mendengus. Mimpiku semalam membuat otakku jadi tumpul.

“Joon Woo oppa!” aku berteriak dari atas tangga utama. Syukurlah kakakku juga tak berubah wujud maupun berpakaian aneh.

“Selamat pagi Sa Na-ya” kakak menoleh dengan segaris senyum di bibir tipisnya. Aku baru tahu ada pria berambut hitam legam angkuh berdiri mematung di dekat Joon Woo oppa. Mata seindah jelaga mengintimidasiku lekat. Bertemu pandang dengan seringai sombong seperti sudah sering kulihat sebelum hari ini. Aku membeku di tempat.

Aku Han Sa Na, umur delapan belas tahun. Aku tak percaya mimpi bisa jadi kenyataan tapi kini.. Aku merasa tertampar.

“Ah ya Sa Na-ya, ini Jung Kook, adik Jung Shik temanku yang baru saja pindah di samping rumah kita. Ia datang untuk meminjam catatanmu. Kau tahu, Jung Kook akan satu kelas denganmu di Shining Star Academy”

Aku mengangguk menanggapi kakak. Menuruni tangga dengan tergesa, aku langsung menerjangnya dalam pelukan, tak peduli bagaimana reaksi kakakku selanjutnya. Aku hanya mengikuti naluriku saja.

“Aku mengingatmu lebih awal” bisikku tepat di telinganya. Akal sehatku bahkan menguap. Ya Tuhan. Bagaimana jika pria ini melompat tak mengakuiku? Bodoh!

Tak kusangka ia balik melingkarkan tangan besarnya di kedua pinggangku. “Terima kasih Sa Na-ya” suara baritonenya mampu membuat jantungku berdebum abnormal. Hidungnya bergesekan dengan rambutku.

“Hei hei adakah yang kulewatkan di sini?” Oh astaga. Aku melupakan fakta bahwa kakak masih menonton reuni kami.

Dengan canggung kulepaskan rengkuhan pada tubuh Jung Kook. Ia, kakakku, melipat dua tangannya di depan dada. Menatap kami penuh tanya seolah ia baru saja memergoki pasangan remaja yang tengah berciuman.

Kugaruk tengkukku yang sejujurnya tak gatal. Berpikirlah Han Sa Na! Tak mungkin aku menceritakan mimpiku pada siapapun apalagi kakak kan? Bisa-bisa ia tak akan berhenti tertawa dan mengejekku habis-habisan!

“Err.. Jung Kook, dia temanku. Ya. Maksudku, dia teman Facebookku. Kemarin dia mengirim pesan akan pindah ke Seoul. Ya Tuhan aku benar-benar tak menyangka ia pindah tepat di samping rumah kita!” Oh demi semua persediaan make up Ye Rin. Aku harus benar-benar memastikan suara yang baru saja keluar dari kerongkonganku bukanlah suara aneh.

Kakak beralih menatap Jung Kook mencari pembenaran. Hampir saja aku menginjak kaki pria dingin ini jika tak membuka suara namun gerakan kakiku terhenti.

“Jadi kalian sudah saling mengenal di ‘Facebook’?” kakak memamerkan empat jarinya mengutip kata Facebook. Aku mengangguk diikuti Jung Kook. Oh aku akan berterima kasih pada pencipta jejaring sosial fenomenal itu.

**

Dan di sinilah aku sekarang. Berhadapan dengan dua buah piring salad buah, meja makan dengan delapan kursi juga tak lupa kakakku yang memutar-mutar garpunya bosan. Semenjak kedatangan Jung Kook tadi pagi serta acara-pelukan-reunian-tanpa-rencana kami kakak terus saja menatapku tak percaya. Menanyakan bagaimana kronologi kami dapat saling kenal di media sosial itu, apa hubungan kami dan bla bla bla. Aku memutar dua bola mataku jengah.

Belum lepas keterkejutanku terhadap sosok Jung Kook aku sudah harus berhadapan dengan kenyataan lain yang sungguh membuatku tercengang. Bahkan kurasa soal Bahasa Inggris yang Chae Rin-seonsaengnim berikan tak ada apa-apanya dibanding hari ini.

Kami, maksudku aku dan Jung Kook sudah berteman di Facebook lebih dari satu tahun lalu. Dan aku tak mengada-ada tentang dia mengirimkan pesan perihal kepindahannya ke Seoul. Sebenarnya aku berada di atas awan namun, hei. Aku sungguh tak menyadari kebohonganku adalah sesuatu yang.. Nyata?

Jeon Jung Kook sebenarnya kau ini makhluk sejenis apa hah? Aku berteriak frustasi dalam hati.

“Kenapa kau tak memberitahu kakakmu tentang kabar seperti ini dari awal Sa Na-ya? Kau pelit sekali” sungut kakakku menyuap saladnya. Mengunyahnya cepat seperti tak ada stok makanan. Mengisi mulutnya berulang-ulang.

Aku menghela nafas. Apa yang ia bicarakan? Aku bahkan tak mengerti harus bercerita mulai dari mana. Otakku serasa tak bekerja dengan baik setelah mimpi yang kualami semalam. Ini gila. “Maaf”

Kupikir sebaiknya memang aku meminta maaf kan? Kakak pasti terkejut mendapati reaksi berlebihan yang kutunjukkan terhadap orang yang baru saja kulihat batang hidungnya.

“Ya sudahlah. Kurasa Jung Shik juga menyetujui jika adiknya berpacaran dengan adikku”

Aku menyemburnya dengan jus stroberi yang baru saja masuk dalam mulutku. “M-maaf” sekali lagi aku berujar maaf. Oh kakak bisa sangat marah dengan keadaannya saat ini.

###

Pagi menyapaku dengan nada yang masih sama. Kicau burung mengumandang lagu penyemangat, juga embun mengering seiring surya tersenyum gagah dengan mandat yang diembannya menerangi jagat. Angkasa raya terselimut biru, warna cantik berpadu padan putih dari awan yang menggantung. Aku masih memfavoritkan pagi pada daftar hal-hal yang kusuka.

Hari ini aku berangkat sekolah seperti biasa. Masih menumpang mobil kakakku lalu berhenti di depan gerbang. Mencari keberadaan Ye Rin mengajaknya masuk kelas bersama-sama. Sejauh ini tak ada yang berbeda, kecuali pria bermata hitam senada surainya duduk di deretan bangku paling depan berjarak dua lajur dari bangkuku. Jadi ia benar-benar nyata? Aku masih tak habis pikir.

“Tetanggamu itu sangat tampan kan Sa Na-ya?” Ye Rin mengikuti arah pandangku. Secara tidak sadar aku mengangguk. Membuatnya cekikikan geli.

Aku mengernyitkan dahi. Tunggu. Memangnya tadi dia bilang apa? “A-apa? Ti-tidak. Siapa bilang dia tampan hah?”

Ye Rin masih tak berhenti. Tawanya semakin meledak melihat penghuni kelas -termasuk Jung Kook memperhatikan kami intens. Demi Mr. Cho Kyuhyun dan teori logaritmanya yang memusingkan! Apa barusan suaraku terdengar begitu keras?

“Sepertinya kau harus benar-benar menceritakan ‘mimpi anehmu’ padaku sebelum kau bertindak jauh lebih gila” dengan seenak jidat ia menyentil dahiku. Berlalu meninggalkanku yang masih mematung di depan pintu.

Jung Kook memberikan senyuman tipis padaku. Melanjutkan kegiatannya yang kurasa ia tengah menyalin catatanku. Jantung bodoh berhentilah berdetak seheboh ini! Baru segaris senyum tipis namun reaksiku sangat berlebihan sekali!

**

“Aku serius Ryu Ye Rin! Berhenti menertawakanku atau kupastikan aku tak akan melanjutkan ceritanya.” aku mengaduk milkshake stroberi di hadapanku kasar. Menyobek sedikit roti cokelat, memasukkannya dalam mulutku.

“Hahaha baiklah maaf. Aku hanya tak habis pikir.” ia menyeka air matanya. Menetralkan tawanya sendiri dengan menegak jus melonnya. Bahkan ceritaku terasa sangat konyol kan? “Kau bisa melanjutkannya sekarang”

“Ya kau benar ini sangat konyol. Aku juga tak mengerti bagaimana bisa di mimpiku Jung Kook menjadi suamiku. Kau tahu aku tak mengenalnya kan? Atau mungkin aku hanya mengenalnya lewat Facebook, tapi demi apapun Ye Rin-ah itu bukan jawaban yang tepat. Lalu kau, kau juga muncul dan mengatakan bahwa Tae Hyung adalah suamimu. Tidak ada mobil, tak ada yang mengerti dengan istilah play boy, itu gila. Lalu kemudian Jung Kook menghilang. Berhari-hari, mungkin berminggu-minggu. Ia memintaku mengingatnya lebih awal. Aku tak mengerti untuk apa. Dan saat ia berdiri di samping kakak tiba-tiba saja aku sudah memeluknya. Mengatakan padanya bahwa aku mengingatnya lebih awal. Kau tahu apa yang ia ucapkan? Ia berterima kasih padaku Ye Rin-ah bukankah itu nampak begitu konyol?” aku menghela nafas. Kembali mengunyah roti cokelat yang hanya tersisa separuh.

Ye Rin menganga cukup lebar namun sejurus kemudian ia sudah dapat mengendalikan diri. “Wow” ucapnya mencomot keripik kentang. “Jadi maksudmu mungkin saja Jung Kook mengalami mimpi yang sama denganmu begitu?”

Aku mengangguk mengiyakan. Di dunia ini segala sesuatu mungkin saja bisa terjadi kan? Termasuk kejadian yang tidak masuk akal sekalipun.

“Oh gadis kecilku yang manis” aku memutar mataku bosan. Ia adalah sahabatku sejak kecil dan ya, ia selalu mengingat panggilan kesayanganku dari ayah. “Kau tahu mimpi yang sama tidak mungkin terjadi dua kali. Apalagi terjadi pada dua orang yang berbeda. Itu sangat tidak mungkin Sa Na-ya”

Baiklah. Itu pikiran paling konyol yang pernah terlintas di otakku. Aku menggedikkan bahu.

“Kau harus membicarakan ini dengan Jung Kook untuk memastikan semuanya. Ini tentangmu dan juga dirinya, kurasa tak ada saran yang bisa kuberikan selain itu”

###

Aku menimbang-nimbang bobot ponsel pintarku. Memutar-mutarnya di udara mengusir kebosanan yang melandaku begitu saja. Angin malam berhembus cukup kencang. Menerbangkan surai cokelat kemerahanku semaunya. Kueratkan sweater yang membungkus tubuhku.

Halte terlihat lebih sepi dibandingkan malam-malam biasanya kurasa. Tak ada banyak orang yang menunggu bus, hanya satu atau dua orang saja. Kuhempas bobot tubuhku pada kursi panjang. Menenggelamkan diri pada novel fantasy yang baru tadi kupinjam di perpustakaan.

Omong-omong malam ini bulan bersinar terang, ditemani jutaan bintang yang terasa memenuh-sesaki singgasana langit. Kudongakkan kepala mengabsen setiap rasi yang terbentuk. Sepersekian detik kemudian aku kembali dibuat terkejut.

Tiga bintang paling terang ikut serta menghias langit, aku baru menyadarinya. Keberadaan mereka amat mencolok, terang benderang melebihi kerlip kecil lain yang ada. Seolah mereka benar-benar diciptakan untuk kuketahui.

Aku mengerjap beberapa kali. Menatap langit lalu mengerjap lagi. Tiga bintang itu masih tertangkap oleh retinaku. Jadi ini sungguhan? Seringai kecil terpetak di wajahku. Bagaimana bisa mimpi itu jadi semakin nyata untukku?

Dengar derap langkah membisik telingaku. Memaksa iris cokelat gelapku menilik siapa pemilik sepatu berisik juga penggunanya. Enggan meninggalkan lembar buku kuintip sebentar ia dari balik kertas novel.

“Tidak ada gunanya menunggu bus malam berhenti” Pria berpostur proporsional menjulang tak jauh dari tempatku. Kedua tangan ia masukkan dalam saku celana kotak-kotak biru. Segaris tipis senyum tercecar di wajahnya. “Bus terakhir hari ini sudah berhenti jauh sebelum kelas kita berakhir”

Kutatap jam yang melingkari tangan kiriku. Sudah kiranya empat puluh lima menit aku berada di halte ini. Dan benar saja sedari tadi tak ada bus berlalu lalang. Tch. Kenapa aku tak menyadarinya?

“Jalan kaki denganku?”

Kututup novelku cepat. Menengadah menatap manik hitamnya yang terasa mengulitiku. Kepalaku mengangguk mengiyakan. Tidak ada salahnya pulang berjalan kaki kan? Lagi pula kurasa Jung Kook bisa menetralisir amarah kakakku nanti. “Baiklah. Aku percaya padamu”

Ia kembali tersenyum. Tipis namun beruntung irisku sempat merekamnya dengan sempurna.

Tak ada topik menarik yang membuat kami terlibat obrolan panjang. Ia benar-benar jadi pria tenang yang memilih diam sambil sesekali menatap langit. Kuikuti arah pandangnya diam-diam. Jelaga hitamnya semakin indah berbingkai bintang-bintang di atas sana.

Kuperhatikan wajah tenangnya seksama. Parasnya tampan -tidak maksudku sangat tampan, oh aku mengakuinya. Hidung mancung yang mencuat indah, omong-omong hidungku sangat tak sepadan dengannya. Meski tidak pesek namun kurasa jika di dekatnya seperti ini hidungku jadi lenyap. Bibir tipisnya berwarna merah alami, mata dengan sorot tajam, juga surai hitam tebal miliknya terasa begitu pas. Ia adalah satu dari populasi manusia nyaris sempurna yang Tuhan ciptakan.

Jung Kook berdehem cukup keras, nyaris membuatku terlonjak. Kupalingkan wajah kembali ke jalanan. Mencari setidaknya mahluk renik yang mampu tertangkap retinaku. Oh sial. Bahkan wajahku mendidih hanya karena ketahuan memandang seseorang terlalu lama. Ini memalukan!

“Err.. Tentang kejadian minggu pagi itu.. Aku benar-benar meminta maaf” aku masih menunduk menyembunyikan wajahku. Jung Kook menghentikan langkah, aku bisa merasakan tak ada pijak kaki menyamai pijakanku. Kutolehkan kepala menatapnya. Sekilas wajah dingin itu nampak sendu. Ada rasa rindu bercampur kepahitan dan kesedihan di setiap tatapannya. Ia mendesah panjang. Mengepulkan asap di sekitar bibirnya.

“Kupikir kau benar-benar mengenaliku lebih awal. Tapi sepertinya sama saja, kau tak akan pernah mengenaliku terlebih dahulu” seringai muncul di bibirnya. Hatiku tertikam. Seolah dapat merasakan kehancuran dirinya dari perkataanku barusan.

“Maaf. Aku hanya.. Mungkin aku–” kugigiti bibir bawahku. Kebiasaan jika aku tak mengerti apa yang harusnya kuputuskan dalam situasi ini.

Atmosfer di antara kami berubah jadi semakin canggung. Aku merutuki kebodohan mulutku yang tak sejalan dengan apa yang diproses otakku. Mulut bodoh! Bicaralah! “…Kurasa aku perlu menjelaskan semuanya” ucapku akhirnya. Kuhela nafas sebelum melanjutkan perkataan.

“Aku bermimpi aneh malam itu. Sangat aneh sampai kurasa fungsi otakku berkurang hanya dengan memikirkannya saja” Jung Kook tak mengalihkan iris jelaganya sedetikpun. Menatapku tanpa ampun seolah aku adalah pencuri yang sedang ia interogasi.

Kami berhenti di taman yang cukup lengang. Duduk dengan tasku menjadi sekat ruang antara kami, mataku kembali menjelajah langit. Tiga bintang itu kembali kuhitung berulang-ulang.

“Aku bermimpi menjadi istrimu. Kau bicara tentang tiga bintang itu, juga legenda tentang Dewi Bulan, Pangeran Malam dan Rectorio.” aku menunjuk bintang yang kumaksud. Secara otomatis ia mengikuti jari telunjukku.

“Ceritakan apa saja yang kauingat tentang tiga bintang itu”

Aku kembali menghela nafas. Menutup kelopak mataku sebentar, mencoba mengingat lagi setiap detail yang Jung Kook ucapkan kala itu. “Tiga bintang itu adalah Dewi Bulan, Pangeran Malam dan Rectorio. Suatu hari seorang Rectorio menatap langit, langit sangat gelap dan ia marah. Menurutnya seharusnya Dewi Bulan tidak boleh lalai menjalankan tugas. Sampai suatu malam saat langit lagi-lagi sangat gelap Rectorio bertemu seorang gadis yang ternyata adalah jelmaan Dewi Bulan. Ia bercerita alasannya mangkir dari tugas menerangi bumi karena ia menolak dijodohkan dengan Pangeran Malam. Padahal dalam takdir seharusnya mereka berpasangan agar langit selalu terang.”

“Singkat cerita Rectorio dan Dewi Bulan pada akhirnya saling jatuh cinta. Mereka menikah dan hidup bahagia, sampai suatu ketika Pangeran Malam datang membalas dendam. Ia mengadukan rasa sakitnya pada Langit sahabatnya, Langit pun meminta bantuan pada Sang Penulis Takdir.”

“Sang Penulis Takdir memutuskan takdir yang adil bagi ketiganya. Dewi bulan akan lahir kembali menjadi manusia biasa, dia akan kehilangan seluruh ingatannya tentang Rectorio yang dicintainya juga tentang Pangeran Malam, jodoh yang ditolaknya. Sedangkan Rectorio harus berusaha mencari reinkarnasi Dewi Bulan sebelum Pangeran Malam menemukannya. Apabila Dewi Bulan Jatuh cinta lagi pada Rectorio, maka Pangeran Malam berhak menantangnya berduel. Jika Rectorio menang, maka dalam masa itu ia berhak hidup bersama Dewi Bulan. Tapi jika ia kalah, ia tak boleh kembali ke kehidupan Dewi Bulan sampai reinkarnasi Dewi Bulan berikutnya lahir.” cukup lama tatapan kami bertemu. Oh Tuhan bahkan jantungku kembali berdetak kencang. “Kau juga berkata jika tiga bintang itu masih genap berarti tak ada sesuatu yang terjadi. Tapi jika salah satu bintang tak muncul, itu pertanda Rectorio kalah melawan Pangeran Malam”

“Berbulan-bulan kemudian aku mampu menerima kehadiranmu sebagai suamiku. Sampai akhirnya kau pergi, hujan lebat melanda daerah itu berhari-hari. Hana mengatakan semuanya. Kau adalah Rectorio, aku Dewi Bulan dan Yoon Gi adalah Pangeran Malam. Aku menangis berharap kau kembali memenangkan duel, namun di hari berikutnya kau tak jua datang. Seminggu kiranya aku masih menghitung bintang, dan pada hari ketujuh harapanku musnah. Hanya ada dua bintang di langit. Dan aku tahu kau kalah.” tanpa kuperintah air mata menganak sungai di kedua pipiku. Jung Kook bereaksi. Mengusap lelehan bening yang tercipta dengan ibu jarinya. “Saat aku terbangun keesokan harinya ucapanmu memenuhi otakku. Kau memintaku untuk mengenalimu lebih awal, karena itu aku memelukmu. Mengatakan padamu bahwa aku mengenalimu lebih awal. Aku bodoh bukan? Kita tak saling kenal tapi aku–” ia mengarahkan telunjuknya ke bibirku. Membuatku menghentikan kalimat.

“Jadi kau mengingat semuanya?” A-Apa? Ia tersenyum manis. Sangat manis dan terasa benar-benar senyum yang tercipta dari dasar hatinya.

“Ja-jadi kau?”

**

Enam bulan berjalan dengan sangat baik. Setelah ‘malam pengakuan’ itu berlangsung hubungan kami berkembang pesat. Kuakui aku memang telah jatuh cinta lagi pada Jung Kook entah bagaimana caranya. Lalu kami kembali bersatu seminggu kemudian.

Jung Kook berubah jadi pria yang menyenangkan. Bahkan ia terlampau sering membawaku kencan, memberi kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang tak kan pernah kulupakan. Aku menemukan fakta lain di balik sosoknya yang dingin serta tampan sekaligus. Pria itu romantis. Dan kini aku benar-benar mencintainya.

Aku bertemu dengan teman-temannya, seperti Kim Nam Joon misalkan. Pria lesung pipi bersurai perak yang memiliki kelebihan khusus sama dengan Jung Kook. Sang manusia pencatat dan pengingat semua kejadian di bumi, atau bisa disebut Rectorio. Ada juga Kim Seok Jin, Jung Ho Seok dan Park Ji Min. Mereka Rectorio baik hati yang tak kusangka bersekolah di Shining Star Academy.

Kulayangkan tangan putihku ke udara. Melambai memberi ucapan selamat tinggal pada Jung Kook yang baru saja mengantarku pulang. Aku menatap punggung tegapnya hingga menghilang di balik gerbang. Tersenyum simpul ikut serta memasuki rumahku sendiri.

Sedikit berlari menaiki tangga, aku tergesa mendapati pesan singkat Jung Kook beberapa saat lalu. Ia bodoh kurasa. Bahkan kami hanya berpisah kurang dari lima menit namun rasa rindu sudah menyergap menghinggapi hatinya? Oh dasar priaku yang tampan.

Kubuka jendela kamar lebar-lebar. Dari seberang -hanya berjarak pohon maple- dapat kulihat ia menopang dagu. Dua kancing teratas seragamnya terbuka, juga dasi yang telah mangkir dari tempatnya berada. Kembali senyum menghiasi wajahku.

Tiga bintang itu masih ada kan? -Jungkook

Kuselipkan surai cokelat kemerahanku di balik telinga. Aku kembali menatapnya, sejurus kemudian menangkup langit. Tiga bintang masih bersinar angkuh di sana. Kuketik balasan pesan untuknya sembali sesekali melirik Jung Kook.

Masih sama setiap harinya. Apa Yoon Gi belum berhasil menemukanku juga? Payah sekali -Sa Na

Aku sedikit terkekeh geli menekan tombol send. Jung Kook menundukkan kepalanya beberapa saat kemudian. Entah kenapa kikikan kecil tadi menguap begitu saja. Aku tak merasa menang membahas lelucon ini lagi dengannya.

Tiba-tiba gundah bersarang dalam hatiku, juga perih dan kesakitan melebur jadi satu. Takut kehilangan Jung Kook pun tak luput menyergap kasar, mencuri pasokan oksigen yang terkumpul dalam paru-paruku.

Sudah malam. Sebaiknya kita istirahat. Aku mencintaimu -Jung Kook

Aku mengerjap beberapa kali memandang ponsel. Tak biasanya ia bertingkah seaneh ini. Jung Kook menutup jendela tanpa sempat melihatku. Ia bahkan melupakan sentuhan akhir pertemuan jendela kami. Aku mendengus cukup kasar.

**

Jam dinding nude peachku menunjuk angka lima dan sebelas. Sebenarnya masih sangat pagi untuk memulai hari Minggu. Namun bagai ada dorongan mataku telah melebar sempurna. Perih mewarnai rasa ngilu menjalar di setiap aliran darahku.

Kembali kuulang kebiasaan pagi seperti biasa. Menyibak tirai, membuka jendela lebar-lebar, membiarkan terpa angin pagi menyapu kulit lembutku. Erangan gusar tercipta. Jantungku bahkan berdetak lebih kencang.

Kamar Jung Kook tak lagi terang, kurasa ia sudah mematikan lampu. Namun jendela yang biasanya terbuka tak menunjukkan indikasi apapun. Tetap tertutup dengan tirai putih tulang menyelimuti.

Pandanganku turun menyapu pekarangan rumahnya. Menyisir tiap-tiap sudut yang sering Jung Shik oppa maupun Jung Kook gunakan. Rapi, bersih dan tak ada hal apapun yang patut kucurigai. Lalu pandanganku tertumbuk pada sosoknya yang keluar dari gerbang. Jung Kook dengan hoodie hitam menutupi surai hitamnya. Dahiku mengerut heran.

Untuk apa ia pergi sepagi ini? Kenapa tak memberitahuku? Mengapa harus dengan hoodie? Dan berbagai pertanyaan lain berjejal di otakku. Aku menyambar cardigan cokelatku. Menuruni tangga tergesa, tersenyum tipis manakala maid di rumahku membungkuk hormat.

Kuikuti langkah panjang Jung Kook yang nampak terburu-buru. Punggung tegapnya nampak kecil, berjarak sekitar tiga ratus meter di depanku. Nafasku tersengal karena berlarian demi tak kehilangan jangkah kakinya.

Ia berbelok ke kanan. Dahiku mengerut membuat kedua alisku bertaut. Ini bukan arah rumah teman-temannya, bukan pula arah rumah Mr. Cho dan Mrs. Chae Rin. Aku menyimpan pertanyaanku dalam hati. Masih berlari kecil mengikuti kemanapun punggung tegapnya pergi.

Gudang tua kosong terpampang di depan iris cokelatku. Jung Kook melenggang pasti menyingkirkan beberapa ilalang yang mengganggu langkahnya. Aku sempat ragu namun hati kecilku memberikan dorongan lebih. Dengan hati-hati aku menyusulnya, tanpa menimbulkan suara apapun. Gudang ini sangat luas dengan bagian terbuka di tengah-tengahnya. Irisku membelalak terkejut. Kubungkam mulutku sebisa mungkin. Bersembunyi di antara drum yang berdiri kokoh di sisi kirinya.

“Menyerahlah Jeon Jung Kook! Kau tak pernah menang berduel melawanku!” suara debuman benda jatuh menabrak lantai jadi latar teriakan lantang yang kudengar. Aku membeku.

Desir darahku terpompa tak beraturan. Menimbulkan efek takut menyebar cepat merusak sistem kerja otak kiriku. Suara pukulan, bantingan juga mungkin tendangan memenuhi gendang telingaku. Sebisa mungkin kuredam lirih suara tangis yang membuncah.

Kilas kebersamaanku dengan Jung Kook memutar abstrak dalam ingatanku. Wajahnya yang tersenyum, cemberut, tertawa lebar, mengerucutkan bibir, mengerling nakal, semuanya terekam jelas. Tercerna sempurna di rentetan playback yang kini tengah memutar dalam otakku.

Air mata sudah meluber di kedua pipiku. Aku tak berani untuk sekedar mengamati Jung Kook berduel dengan Yoon Gi. Jerit putus asa membumbung tinggi. Menyergap pendengaranku setara kecepatan cahaya. Benda jatuh lagi.

“TIDAK AKAN! KALI INI AKULAH YANG MENANG, MIN YOON GI!” kudengar Jung Kook berteriak di antara suaranya yang tersengal. Ia merintih, aku merasakannya. Sebuah pukulan melayang lagi, aku tak tahu siapa pemukulnya namun suara itu sangat keras. Seolah tercipta di dekat gendang telingaku.

“Sayangnya sejak dulu Jung Kook belum pernah kembali setelah melawan Yoon Gi” ucapan Hana di mimpiku kembali terngiang. Bagaimana.. Bagaimana jika Jung Kook kembali meninggalkanku? Bagaimana jika ia benar-benar kalah dan tak akan pernah kembali di kehidupanku? Kujambak rambutku kasar. Lelehan bening yang tercipta bahkan semakin deras.

“Bersiaplah menerima kekalahanmu Jeon Jung Kook!” aku memejam mendengar teriakan yang terasa menghunus jantungku.

Tanpa kuperintah kakiku melangkah, berlari ke arah Jung Kook yang terengah-engah dengan sudut bibir robek, juga Yoon Gi yang mengarahkan pisau lipatnya tepat ke arah jantung priaku. Darah merembes dari bibir Jung Kook menyayat hatiku. Ini tidak adil untuknya. Kenapa harus ada hukum seperti ini tercipta membelenggu kami?

Kurengkuh ia dalam pelukan, kami tersungkur bersama karenanya. “Apa yang kau lakukan Han Sa Na?” Jung Kook terkejut. Kubelai wajahnya sekali lagi, mengecup bibirnya singkat lalu berbalik. Memblokade serangan Yoon Gi dengan jarak yang semakin dekat.

“Jika sebelumnya kau selalu menunggu reinkarnasiku berikutnya, maka aku akan mewujudkannya sekarang. Aku tak akan membiarkanmu menderita karena menungguku, juga membiarkanku menderita karena merindukanmu” kulangkahkan kakiku mendekati Yoon Gi. Ia menyeringai kecil di balik senyum angkuhnya. Mundur teratur seiring langkahku yang semakin mendekat.

Kuraih sebelah tangan Yoon Gi dengan pisau lipat mencuat ke genggamanku. Kuarahkan sendiri benda mengkilat tajam itu tepat di ulu hatiku. Mataku terpejam manakala sensasi yang timbul begitu cepat menyebar.

“H-Han Sa Na?” samar kudengar Yoon Gi dan Jung Kook berteriak hebat. Nyeri serta bau anyir darah menyelimutiku. Nafasku tersengal.

.
.
.
.
.

Lima Tahun Kemudian

Gadis kecil dengan dua kuncir berlarian riang. Poni yang menutupi dahinya bergoyang tertimpa angin. Kelakar tawa membuncah sesekali menengok ke belakang tempat pria kecil seumuran dengannya ikut berlari. Mengejar gadis kecil itu dengan langkah-langkah yang berusaha ia panjangkan.

Sang gadis terjerembab di antara pasir juga batu-batu kecil taman. Tangisnya membuncah mendapati kedua lututnya tergores panjang dengan bercak darah. Pria kecil itu menghampirinya, menekuk lutut mensejajarkan tingginya dengan gadis di sampingnya.

“Sudah kubilang kau harus berhati-hati jika berlari Sa Na-ya!” pria kecil itu mengusap air mata di pipi Sa Na. “Naiklah di punggungku. Aku akan menggendongmu” ucapnya lagi menenangkan Sa Na.

Sa Na mengangguk masih dengan sisa tangis. “Te-terima kasih hiks, Jung Kook-ah” ia menyamankan diri di punggung kecil Jung Kook.

Jung Kook mengulas senyum tipis. Membenarkan posisi Sa Na, ia melangkah. Meninggalkan taman bermain yang memang tak jauh dari rumah keduanya.

Sa Na mengistirahatkan kepalanya di bahu Jung Kook. Ikut mengulas senyum, ia masih tak mengerti bagaimana perasaan nyaman yang tercipta dalam dirinya.

“Meski kini kau tak mengingatku lebih awal, aku bersyukur dapat bertemu denganmu lebih awal dibanding biasanya” Jung Kook menggumam pelan melanjutkan langkah.

-FIN-

A/N: Endingnya maksain gak? o.O Actionnya hancur >_<

Pembaca yang Baik adalah Pembaca yang Meninggalkan Jejak *ngilangbarengDonghae wkwk

13 thoughts on “Three Stars [Oneshoot]

Leave a comment